Seloko Adat Jambi (4)

Posted by Dedo Balabo On Minggu, 30 Juni 2013 0 komentar
Anak berajo kebapak
Kemenakan berajo kemamak
Gedang anak sekato bapak
Gedang kemenakan sekato mamak

Seloko adat Melayu Jambi tersebut bermakna bahwa tanggungjawab membesarkan serta mendidik anak terletak ditangan orang tuanya (ayah), sedangkan tanggungjawab membesarkan dan mendidik kemenakannya adalah terletak ditangan pamannya sendiri. Dalam ungkapan tersebut juga menjelaskan adanya pembagian tugas dan tanggungjawab antara seorang ayah dan seorang paman dalam adat istiadat daerah Jambi. Pembagian tugas dan tanggungjawab ini dapat menjamin kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak pada masanya yang memang memerlukan bantuan orang dewasa. Terkadang dapat saja seseorang berfungsi ganda, disamping mengasuh, membesarkan, serta mendidik anak-anaknya, juga mengasuh, membesarkan, serta mendidik kemenakannya. Ungkapan trasaisional ini mengisyaratkan bahwa keselamatan kehidupan kelompok kekerabatan perlu diwujudkan sedemikian rupa. Tentu saja, baik si anak maupun sikemenakan harus menurut perintah ayah dan pamannya. Ungkapan ini menjelaskan bahwa ayah dan paman dalam kekerabatan memiliki tanggung jawab yang besar dalam masyarakat Melayu Jambi.
READ MORE

Seloko Adat Jambi (3)

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Adat bumbun menyelero
Adat padang kepanasan

Seloko adat Melayu Jambi tersebut bermakna bahwa pekerjaan banyak dan rumit menghendaki biaya besar. Leksem bumbun diartikan sejenis tumbuhan rendah yang rimbun daunnya, yang banyak ini tentu banyak juga seleranya. Maksudnya daun tua yang sewaktu-waktu akan gugur memenuhi tempat tumbuhnya. Sementara tanah lapang yang berumput yang tidak ditumbuhi pepohonan menerima kewajaran menerima panas matahari yang memanggang di bandingkan dengan tempat-tempat lain yang pepohonan. Kedua macam wujud alam inilah yang kemudian dipakai sebagai kiasan bagi orang-orang tertentu yang karena kayanya memilki banyak usaha dan banyak yang diperlukan dan diselesaikan. Tentu saja untuk menyelesaikan pekerjaan yang banyak diperlukan tenaga pekerja yang banyak pula. Sudah jelas bahwa mengerahkan orang banyak membutuhkan biaya yang besar. Pada zaman dahulu, masyarakat Jambi menyatakan orang kaya diukur dari luasnya huma atau ladang yang dimilikinya. Misalnya menuai padi dengan memanggil banyak orang dan membutuhkan makanan yang banyak pula. Masyarakat daerah Jambi memiliki rasa kebersamaan dalam tatanan kehidupan rakyat Jambi. Jelas sekali bahwa ungkapan tradisional ini berisi suatu petuah yang mengajarkan agar setiap orang kaya selalu menyenangkan orang lain secara iklas dan manusiawi.
READ MORE

Seloko Adat Jambi (2)

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Adat dak lekang dek panas dak lapuk
dek ujan
Titian beteras
Tanggo bebatu
Jalan berambah nan diturut
Baju bejait nan dipakai
Sumur tegenang nan disauk

Seloko adat Melayu Jambi tersebut bermakna bahwa adat istiadat serta kebiasaan yang sudah turun temurunlah yang harus diikuti supaya tidak tercela di dalam masyarakat dan pandangan orang banyak. Ungkapan tersebut menjelaskan betapa kuatnya kedudukan adat serta hukum yang digariskan di tengah-tengah kehidupan masyarakat daerah Jambi dari dahulu hinga sekarang. Titian tetas betanggo batu bermakna suatu ketentuan yang keras dan memiliki sanksi yang harus diikuti oleh masyarakat daerah Jambi. Jalan berambah yang diturut maksudnya adalah agar seseorang tidak boleh meyimpang dari aturan yang berlaku, begitu pula dengan sumur tegenang yang disauk, memiliki makna bahwa apa-apa yang telah tersedia saja yang boleh diambil supaya terjaga dan terjamin dari kemungkinan hal-hal yang tidak baik. Ungkapan tradisional ini merupakan nasehat kepada anak Jambi supaya berperilaku sesuai dengan kebiasaan yang terdapat dinegerinya yang sudah ada secara turun temurun. Ungkapan ini juga berisi himbauan kepada masyarakat Jambi untuk mengutamakan sopan santun bermasyarakat.
READ MORE

Seloko Adat Jambi (1)

Posted by Dedo Balabo On 1 komentar
Adat selingkung koto
Undang selingkung alam
Adat ditangan nenik mamak
Undang ditangan rajo
Rumah betenggainai
Kampung bertuo
Luhak bepenghulu
Rantau bejenang
Nagari bebatin
Alam berajo


Seloko adat Melayu Jambi tersebut bermakna bahwa setiap daerah atau tempat mempunyai peraturan dan perundang-undangan sendiri serta mempunyai penguasa yang akan melindunginya. Sepanjang hidup manusia suka berpergian ke daerah-daerah lain atau merantau. Perbuatan tersebut boleh jadi karena dorongan ingin mencari ilmu atau mencoba hidup didaerah perantauan sementara di negerinya sendiri sudah terasa amat sempit mata pencahariannya . Bagi anak perantau Daerah Jambi selalu dingatkan bahwa setiap negeri yang dikunjunginya mempunyai peraturan dan perundang undangan. Dengan demikian perantau harus sadar akan dirinya. Jangan membuat sesuatu yang melanggar hukum negeri yang baru di kunjunginya. Ia harus pandai-pandai membawakan diri. Bila ada suatu persoalan, maka beritahukanlah kepada penguasa negeri untuk menyelesaikannya. Ingat bahawa dinegeri itu sudah ada pihak pihak yang bertugas untuk menentukan keputusan apa yang akan ditetapkan.
READ MORE

Masjid Al Falah di Empelu, Masjid Tertua di Bungo

Posted by Dedo Balabo On Sabtu, 29 Juni 2013 0 komentar

Masjid menandakan adanya ajaran Islam di tempat itu. Di Kabupaten Bungo, perkembangan Islam terlihat dari keberadaan Masjid Al Falah, yang didirikan sejak 1812. Bagaimana sejarahnya?

Masjid Al Falah terletak di Dusun Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo. Masjid kuno dengan bangunan bergaya melayu itu dibangun pada 1812. Pengerjaan masjid tersebut dikerjakan secara bertahap. Sehingga akhirnya bentuk bangunan itu cukup megah, seperti sekarang.

Beberapa tokoh masyarakat setempat mengatakan, Dusun Empelu pernah dipimpin oleh seorang Rio Agung Niat Tuanku Kitab. Rio Agung Niat Tuanku Kitab disebut-sebut merupakan Rio pertama di wilayah itu. Rio Agung mengajak masyarakat Desa Empelu untuk bergotong royong mengambil kayu di hutan, untuk membangun sebuah rumah ibadah yang pada saat itu disebut pertama kali sebagai Surau Al Falah.

Pendirian awal Masjid Al Falah dikerjakan oleh Rio Agung bersama masyarakat, atas titah Pangeran Anom. Saat didirikan, bentuk bangunan Masjid Al Falah masih berbentuk rumah panggung yang terdiri dari beberapa tiang. “Dahulunya, masjid tersebut beratap daun rumbia, dengan dinding dari kayu, lantai dari bilah (buluh, red), bentuknya seperti biasa menyerupai rumah adat Bungo. Nama masjid masih disebut sebagai rumah surau, kata orang dulu. Bentuknya pun sangat sederhana, jauh dari bentuk saat ini,” ujar seorang pengurus Masjid Al Falah, Rifai, saat disambangi Jambi Independent di rumahnya, usai shalat Zuhur, Minggu (11/4).

Alat yang digunakan juga cukup sederhana. Penggunaan masjid tersebut juga untuk kepentingan kemasyarakatan dan pemerintahan. Pada 1827, Surau Al Falah direhab menjadi bangunan berbatu dengan tembok dari semen. Pengerjaan bangunan dikerjakan oleh Abu Kasim dari Pulau Jawa dan telah lama tinggal di Malaysia.

Saat itu, Surau Al Falah diubah namanya menjadi Masjid Al Falah oleh Pangeran Anom dibawah pimpinan Raja Demak dari, Pulau Jawa. Pada 1837, bangunan masjid kembali direhab. Proses pengerjaan rehab bangunan masjid, dikerjakan oleh seorang pekerja dari Bukit tinggi bernama Mangali.
Saat itu bangunan mulai tampak indah, dengan keindahan seni arsitektur bangunan serta interior yang cukup menarik. Selain itu, terkandung pula simbol-simbol atau makna-makna yang cukup luas dari bentuk fisik bangunan. “Ada makna dari masjid itu, dari tangga yang ada di sekitar masjid, bila dihitung jumlahnya 17. Itu menandakan bahwa shalat lima waktu ada tujuh belas rakaat,” ujar Rifai.

Pada 1850, kembali dilakukan pemugaran, memperbarui dua menara rendah. Menara itu terletak di sudut depan masjid, seperti saat ini. Pada saat itu, Desa Empelu dipimpin oleh Rio Abdul Kadir. Pada masa kepemimpinannya, penyelesaian pembangunan Masjid Al Falah Desa Empelu dikatakan rampung.
Pada 1856, dilakukan atap masjid ditukar menjadi seng. Pada 1867, dilakukan kembali pengerjaan masjid dengan menukar tiang menara tinggi sebanyak 8 batang yang merupakan tiang dasar kaki menara. Bahan tiang yang awalnya dari kulim, diganti dengan tiang dari kayu bulim. Kayu tersebut menurut cerita tokoh masyarakat setempat, diperoleh dan diambil secara bergotong royong oleh masyarakat Desa Empelu dari daerah Bukit Bulim (daerah Bukit Kemang).

(bersambung)
READ MORE

Bunga Dani, Kembang Khas Kabupaten Bungo

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Pernah dengar bunga Sakura khas Jepang atau bunga Tulip khas dari Belanda? Kebanyakan orang pasti sudah pernah mendengarnya. Nah, bagaimana dengan bunga Dani? Tahukah bunga khas dari daerah mana? Anak-anak Indonesia sudah sepatutnya mengenal berbagai daerah di tanah air. Bukan hanya hafal nama-nama provinsinya saja, tetapi juga perlu mengenal daerahnya, termasuk kekhasannya.

Bunga Dani adalah sejenis kembang yang tumbuh di pinggir sungai di wilayah Muara Bungo. Asal mulanya bunga itu dibawa oleh rombongan bangsawan dari Jawa Tengah ke wilayah Jambi pada abad ke 17. Lalu ditanam di sepanjang pinggir sungai Batang Bungo. Beberapa tahun kemudian datang rombongan bangsawan kedua menanam Bunga Dani ini di pinggir sungai Batang Tebo. Nah, kedua sungai ini bertemu dalam Muara yang disebut Muara Bungo. Maka, Bunga Dani ini pun menjadi bunga khas bagi daerah Muara Bungo, tepatnya Kabupaten Bungo.

Kembang yang tumbuh di pinggir sungai ini memiliki bunga berwarna merah muda dengan jumlah kelopaknya ada lima. Pucuk bunganya berwarna cokelat dengan daun yang hijau. Ketika mekar merekah, terlihat indah sekali, menghiasi tepian sungai.
Masyarakat setempat biasanya memanfaatkan bunga ini untuk lalapan di saat makan. Rasanya agak kesat. Bunga ini dipercaya memiliki khasiat tertentu bagi tubuh. Hingga saat ini kembang tersebut tumbuh subur sebagai kekayaan alam di tanah air. Kembang ini pun dijadikan motif untu kain batik khas dari Kabupaten Bungo.

Kabupaten Bungo berada di provinsi Jambi, yang letaknya di Pulau Sumatera. Kabupaten ini memiliki banyak sekali tempat wisata yang sangat indah, seperti sungai dan air terjun. Sudah pasti udara di area tersebut sangat sejuk sekali. Di sana kita juga bisa memancing berbagai jenis ikan.
Tempat-tempat yang bisa dikunjungi antara lain: Sungai Jujuhan Ilir yang jernih dan mempesona; air terjun Tembulun Pengian Indah; Dam Semagi; Water Park Semagi yang keren; Batu Gelagah Buto; Air terjun Jando; Batu Patah Sembilan; Kincir Pengairan Sawah; Air terjun Sungai Beringin; Batu Tapak Gajah; dan Taman Kota yang menawan.

Asyiknya lagi, para wisatawan bisa langsung terbang menuju lokasi. Dari bandar udara luar kota, bisa naik pesawat menuju Bandara Muara Bungo. Praktis sekali dan benar-benar menghemat waktu.
Siapa mau ke Muara Bungo di Jambi? Berwisata menyaksikan keindahan Bunga Dani di sepanjang tepi sungai, lalu melalapnya supaya sehat.
READ MORE

Profil Provinsi Jambi

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Pada akhir abad ke XIX di daerah Jambi terdapat kerajaan atau Kesultanan Jambi. Pemerintahan kerajaan ini dipimpin oleh seorang Sultan dibantu oleh Pangeran Ratu (Pu­tra Mahkota) yang mengepalai Rapat Dua Belas yang merupakan Badan Pemerintahan Kerajaan.

Wilayah administrasi Kerajaan Jambi meliputi daerah-daerah seba­gaimana tertuang dalam adagium adat "Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Batangnyo Alam Rajo" yang artinya : Pucuk yaitu ulu dataran tinggi, sem­bilan lurah yaitu sembilan negeri atau wilayah dan batangnya Alam Rajo yai­tu daerah teras kerajaan yang terdiri dari dua belas suku atau daerah.

Secara geografis keseluruhan daerah ­Kerajaan Jambi dapat dibagi atas dua bagian besar yakni :
  • Daerah Huluan Jambi : meliputi Daerah Aliran Sungai tungkal Ulu, Daerah Aliran Sungai jujuhan, Daerah Aliran Sungai Batang Tebo, Daerah Sungai Aliran Tabir, daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambu.
  • Daerah Hilir Jambi : meliputi wilayah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir, sampai Rantau Benar ke Danau Ambat yaitu pertemuan Sungai Batang Hari dengan Batang Tembesi sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
Sebelum diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten), yaitu peraturan pe­merintahan desa di luar Jawa dan Ma­dura, di Jambi sudah dikenal pemerintahan setingkat desa dengan nama marga atau batin yang diatur menurut Ordonansi Desa 1906. Pada ordonansi itu ditetapkan marga dan batin diberi hak otonomi yang meliputi bidang pe­merintahan umum, pengadilan, kepo­lisian, dan sumber keuangan.

Pemerintahan marga dipimpin oleh Pasirah Kepala Marga yang dibantu oleh dua orang juru tulis dan empat orang kepala pesuruh marga. Kepala Pesuruh Marga juga memimpin peng­adilan marga yang dibantu oleh hakim agama dan sebagai penuntut umum adalah mantri marga. Di bawah peme­rintahan marga terdapat dusun atau kampung yang dikepalai oleh peng­hulu atau kepala dusun atau Kepala Kampung.

Pada masa pemerintahan Belanda tidak terdapat perubahan struktur pemerintahan di daerah Jambi. Daerah ini merupakan salah satu karesidenan dari 10 karesidenan yang dibentuk Belanda di Sumatera yaitu: Karesidenan Aceh, Karesidenan Tapanuli, Karesidenan Sumatera Timur, Karesidenan Riau, Karesidenan Jambi, Karesidenan Sumatera Barat, Karesidenan Palembang, Karesidenan Beng­kulu, Karesidenan Lampung, dan Karesidenan Bangka Belitung.

Khusus Karesidenan Jambi yang beribu kota di Jambi dalam peme­rintahannya dipimpin oleh seorang Residen yang dibantu oleh dua orang asisten residen dengan mengko­ordinasikan beberapa Onderafdeeling. Keadaan ini berlangsung sampai masuknya bala tentera Jepang ke Jambi pada tahun 1942.

Nilai Budaya
Berdasarkan cerita rakyat , nama Jambi berasal dari perkataan "jambe" yang berarti "pinang". Nama ini ada hubungannya dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak, yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi.

Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerin­ci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan pen­duduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.

Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan meru­pakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud mem­perluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa su­ku ini merupakan keturunan dari per­campuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut seba­gai suku Weddoid.

Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan "ji­nak" diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tem­pat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Se­dangkan yang disebut "liar" adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.

Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pede­saan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarang­annya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup ma­syarakat desa.

Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-­istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang "kabur" untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kam­pung dsb.

Pakaian Pada awalnya masyarakat pede­saan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebu­dayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang mengge­lembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam mela­kukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi deng­an kopiah.

Kesenian  di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang.

Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian.

Filsafat Hidup Masyarakat Setempat:Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.
READ MORE

Sejarah Kabupaten Tebo

Posted by Dedo Balabo On 1 komentar
Pada masa penjajahan Belanda selama Muara Tebo menjadi Pusat Pemerintah Onder Afdeeling Tebo, kemudian dalam masa penjajahan Jepang menjadi Pusat Pemerintah GUN. Menjadi Pusat ibukota Jambi Ulu selama 2 tahun. Menjadi ibukota Merangin sebagai ibukota Kawedanan selama 20 tahun dan 35 tahun dibawah Panji Kabupaten Bungo Tebo. Tepat pada tanggal 12 Okober 1999 diresmikan menjadi Kabupaten Tebo dengan empat kecamatan dan dua kecamatan pembantu yang terdiri dari lima kelurahan dan 82 desa.

Sebagai bumi Kajang Lako, Kabupaten Tebo memiliki logo "SEENTAK GALAH SERENGKUH DAYUNG"  dengan lambang daerah merupakan aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui musyawarah tokoh masyarakat Tua Tengganai, Lembaga Adat serta Pemerintah Daerah Kabupaten Tebo, dan ditetapkan melalui Keputusan Bupati No. 16 tahun 2000 sebelum ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Perisai persegi lima melambangkan Rukun Islam dan Ideologi Pancasila, Kubah Mesjid melambangkan bahwa mayoritas Penduduk Kabupaten Tebo beragama Islam. Pintu atau kotak-kotak pada kubah mesjid yang terdiri dari enam buah melambangkan bahwa pada saat pembentukan Kabupaten Tebo terdiri dari enam kecamatan.  
Padi nan duo belas kapas nan sepuluh melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran serta tanggal bulan berdirinya Kabupaten Tebo.  

Rantai sembilan di sebelah kanan dan sembilan di sebelah kiri melambangkan persatuan dan kesatuan serta tahun berdirinya Kabupaten Tebo.   Kajang Lako melambangkan kebesaran dan merupakan alat transportasi pada masa Kesultanan Jambi Gong melambangkan salah satu alat komunikasi dan alat kesenian masyarakat Kabupaten Tebo. Tali berpintal tigo yang mengikat gong melambangkan kesenian adat, syara' dan Pemerintah

Keris berlengkuk tujuh yang tidak memakai ulu melambangkan kepatuhan terhadap hukum serta semangat menolak yang bathil dan khufur, tujuh bilangan ganjil berarti tidak memihak.Galah adalah menunjukkan tekat untuk maju dan penolakan terhadap budaya asing yang negatif, Dayung adalah tanda kekompakan, kebersamaan dan bahu membahu untuk mencapai tujuan bersama. Sungai melambangkan bahwa Kabupaten Tebo didominasi oleh daerah aliran sungai dan juga merupakan sarana transportasi masyarakat 

Pita yang bertuliskan "SERENTAK GALAH SERENGKUH DAYUNG" melambangkan identitas sosial, jatidiri, masyarakat Kabupaten Tebo. Keluk Paku dalam Tudung layar Kajang Lako melambangkan ragam bias Kabupaten Tebo
READ MORE

Sejarah Kabupaten Batanghari

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Kabupaten Batang Hari dengan mottonya “ Serentak Bak Regam” salah satu dari 10 kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi, yang usianya ternyata lebih tua dari provinsi Jambi yan bersemboyan “Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”, Propinsi Jambi dibentuk pada tahun 1957 dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, bersamaan dengan pembentukan Provinsi Dati I Riau. 

Sedangkan Kabupaten Batang Hari dibentuk 1 Desember 1948 melalui Peraturan Komisaris Pemerintah Pusat di Bukit Tinggi Nomor 81/Kom/U, tanggal 30 Nopember 1948 dengan Pusat Pemerintahannya di Kota Jambi, sekarang Kodya Jambi. Tahun 1963 kedudukan pusat pemerintahan daerah ini pindah ke Kenali Asam, 10 Km dari kota Jambi, kemudian tahun 1979 berdasarkan PP. No 12 Tahun 1979 ibukota kabupaten yang terkenal kaya akan hasil tambang ini pindah dari Kenali Asam Ke Muara Bulian 64 Km dari Kota Jambi sampai saat ini.
 
Batang Hari yang ada sekarang mengalami dua kali pemekaran, awalnya kabupaten yang berada di Sumatera Bagian Tengah ini berdasarkan UU. No 7 Tahun 1965 dimekarkan menjadi dua daerah Tingkat II yaitu Kabupaten Batang Hari yang saat itu ibukotanya Kenali Asam dan Kabupaten Tanjung Jabung beribukota Kuala..Tungkal.
 
Dalam perkembangannya, sejalan dengan era reformasi dan tuntutan Otonomi Daerah, kabupaten yang dibelah sungai Batanghari ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 54 Tahun 1999, kembali dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Batang Hari dengan Ibukota Muara Bulian dan Muaro Jambi ibukotanya di Sengeti. Kabupaten Batang Hari Terdiri dari 8 Kecamatan.
READ MORE

Sejarah Kabupaten Sarolangun

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia dicetuskan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, kota Sarolangun yang pernah menjadi basis patrol Belanda menjadi bagian dari Kabupaten Jambi ilir (Timur) dengan pusat pemerintahannya berkedudukan di Jambi dengan Bupatinya pada masa itu adalah M. Kamil. Pada tahun 1950 sampai Jambi menjadi Propinsi tahun 1957, Sarolangun menjadi kewedanaan bersama kota-kota lainnya yaitu Bangko, Muaro Bungo, dan Muaro Tebo yang tergabung dalam Kabupaten Merangin dengan Ibukotanya semula berkedudukan di Jambi yang selanjutnya berpindah ke Sungai Emas Bangko.

Sejak saat itu, Kota Sarolangun menjadi Kewedanaan selama kurang lebih 20 tahun. Selanjutnya dimulai dari tahun 1960 berdasarkan hasil siding pleno DPRD Kabupaten Merangin dipecah menjadi dua Kebupaten, yaitu Kabupaten Sarolangun Bangko dan Kabupaten Bungo Tebo. Maka sejak saat itu kewedanaan Sarolangun secara resmi menjadi bagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko dengan ibukotanya Bangko.

Melalui Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 secara yuridis formal Kabupaten Sarolangun resmi terbentuk. Selanjutnya diperkuat dengan Keputusan DPRD Propinsi Jambi Nomor : 2/DPRD/99 Tanggal 9 Juli 1999 Tentang Pemekaran Kabupaten di Propinsi Jambi menjadi 9 Kabupaten dan 1 Kota. Atas dasar kebijakan tersebut, maka pada tanggaln 12 Oktober 1999 Kabupaten Sarolangun resmi menjadi daerah otonom dengan Bupati Pertama 1999 - 2001 adalah H. Muhammad Madel (Care Taker). Kemudian berdasarkan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati melalui DPRD Kabupaten Sarolangun Tahun 2001 terpilih Bupati dan Wakil Bupati H. Muhammad Madel, dan H. Maryadi Syarif. Saat ini setelah dilaksanakannya pemilihan umum secara langsung pada bulan Juli 2006 yang merupakan pemilu lansung pertama bagi Kabupaten Sarolangun maka terpilihlah H. Hasan Basri Agus dan H. Cek Endra sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sarolangun terpilih periode 2006 – 2011. Berdasarkan Hasil Pemilukada Tahun 2011 maka terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati periode 2011 - 2016 adalah H. Cek Endra dan Pahrul Rozi.
 
Dalam rangka melengkapi kelembagaan pemerintahaan dan birokrasi publik dan sebagai Kabupaten Pemekaran, maka lembaga Legislatif Kabupaten Sarolangun DPRD pada awal berdirinya masih merupakan bagian dari DRPD Kabupaten  Sarolangun Bangko (Sarko). Pemisahan lembaga Legislatif Kabupaten Sarolangun dibentuk bersamaan dengan dasar Undang – Undang Nomor 54 Tahun 1999 dan selanjutnya disempurnakan kembali melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000 dengan jumlah anggota DPRD sebanyak 25 orang.

   

   

   

   
READ MORE

Sejarah Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Sebelum abad ke-17 di Tanah Tungkal ini sudah berpenghuni seperti Merlung, Tanjung Paku, Suban yang sudah dipimpin oleh seorang Demong, jauh sebelum datangnya rombongan 199 orang dari Pariang Padang Panjang yang dipimpin oleh Datuk Andiko dan sebelum masuknya utusan Raja Johor.

Kemudian memasuki abad ke-17 ketika itu daerah ini masih disebut Tungkal saja, daerah ini dikuasai atau dibawah Pemerintahan Raja Johor. Dimana yang menjadi wakil Raja Johor di daerah ini pada waktu itu adalah Orang Kayo Depati. Setelah lama memerintah Ornag Kayo Depati pulang ke Johor dan ia digantikan oleh Orang Kayo Syahbandar yang berkedudukan di Lubuk Petai. Setelah Orang Kayo Syahbandar kemudian diganti lagi oleh Orang Kayo Ario Santiko yang berkedudukan di Tanjung Agung (Lubuk petai) dan Datuk Bandar Dayah yang berkedudukan di Batu Ampar, daerahnya meliputi Tanjung rengas sampai ke Hilir Kuala Tungkal atau Tungkal Ilir sekarang.

Memasuki abad ke- 18 atau sekitar tahun 1841-1855 Tungkal dikuasai dan dibawah Pemerintahan Sultan Jambi yaitu Sultan Abdul Rahman Nasaruddin. Pada saat itu kesultanan Jambi mengirim seorang Pangeran yang bernama Pangeran Badik Uzaman ke Tungkal yaitu Tungka Ulu sekarang Kedatangannya disambut baik oleh orang Kayo Ario Santiko dan Datuk Bandar Dayah.

Setelah terbukanya Kota Kuala Tungkal maka semakin banyak orang mulai datang, sekitar tahun 1902 dari suku Banjar yang berimigrasi dari Pulau Kalimantan melalui Malaysia. Mereka ini berjumlah 16 orang antara lain : H.Abdul Rasyid, Hasan, Si Tamin gelar Pak Awang, Pak Jenang, Belacan Gelar Kucir, Buaji dan kemudian mereka ini berdatangan lagi dengan jumlah agak lebih besar yaitu 56 orang yang dipimpin oleh Haji Anuari dan iparnya Haji Baharuddin, Rombongan 56 orang ini banyak menetap di Bram Itam Kanan dan Bram Itam Kiri. Selanjutnya datang lagi dari suku Bugis, Jawa, Suku Donok atau Suku Laut yang banyak hidup dipantai/laut, dan Cina serta India yang datang untuk berdagang .

Pada tahun 1901 kerajaan Jambi takluk keseluruhannya kepada Pemerintahan Belanda termasuk Tanah Tungkal khususnya di Tungkal Ulu yang Konteleir jenderalnya berkedudukan di Pematang Pauh. Sehingga pecahlah perperangan antara masyarakat Tungkal Ulu dan Merlung dengan Belanda. Karena mendapat serangan yang cukup berat akhirnya pemerintah Belanda mengundurkan diri dan hengkang dari wilayah itu. Perperangan itu dipimpin oleh Raden Usman anak dari Badik Uzaman. Raden Usman kemudian wafat dan dimakamkan di Pelabuhan Dagang.

Selanjutnya muncullah Pemerintahan Kerajaan Lubuk Petai yang dipimpin oleh Orang Kayo Usman dan Lubuk Petai kemudian membentuk pemerintahan baru. Pada waktu itu dibentuklah oleh H.Muhammad Dahlan Orang Kayo yang pertama dalam penyusunan pemerintahan yang baru.

Orang Kayo pertama ini pada waktu itu masih diintip dan diserang oleh rombongan dari Jambi. Ia diserang dan ditembak dirumahnya lalu patah. Maka bernamalah pemerintahan itu dengan Pemerintahan Pesirah Patah sampai zaman kemerdekaan. Dusun-dusun pada pemerintahan Pesirah Patah dan asal mula namanya adalah:
  1. Dusun Lubuk Kambing tadinya berasal dari Benaluh dan Lingkis.
  2. Dusun Sungai Rotan tadinya berasal dari Dusun Timong dalam.
  3. Dusun Ranatu Benar tadinya berasal dari Riak Runai dan Air dan Air Talun.
  4. Dusun Pulau Pauh tadinya berasal dari Kampung Jelmu pulau Embacang.
  5. Dusun Penyambungan dan Lubuk Terap berasal dari Suku Teberau.   
Dusun Merlung tadinya berasal dari suku Pulau Ringan yang dibagi lagi dalam beberapa suku yaitu : Pulau Ringan, Kebon Tengah, Langkat, Aur Duri, Kuburan Panjang, Gemuruh, dan Teluk yang tunduk dengan Demong.
  1. Dusun Tanjung Paku tadinya berasal dari Tangga Larik.
  2. Dusun Rantau Badak tadinya berasal dari Dusun Lubuk Lalang dan Tanjung Kemang.
  3. Dusun Mudo tadinya Talang Tungkal dan Lubuk Petai.
  4. Dusun Kuala Dasal yang pada waktu itu belum lahir adalah dusun Pecang Belango.
  5. Dusun Badang tadinya berasal dari Badang Lepang di dalam.
  6. Dusun Tanjung Tayas tadinya berasal dari Bumbung.
  7. Dusun Pematang Pauh.
  8. Dusun Batu Ampar yang sekarang menjadi Pelabuhan Dagang.
 
Dusun Taman Raja tadinya bernama Pekan atau pasar dari kerajaan Lubuk Petai. Kemudian disebut Taman Raja karena dulunya merupakan tempat pertemuan dan musyawarah Raja Lubuk Petai dan Raja Gagak.
  • Dusun Suban tadinya berasal dari Suban Dalam.
  • Dusun Lubuk Bernai tadinya Tanjung Getting dan Lubuk Lawas.
  • Dusun Kampung Baru.
  • Dusun Tanjung Bojo.
  • Dusun Kebun.
  • Dusun Tebing Tinggi.
  • Dusun Teluk Ketapang.
  • Dusun Senyerang.
   
Marga Tungkal Ulu :
  • Pasirah MT.Pahruddin (195 Zaman pemerintahan Orang Kayo H. Muhammad Dahlan berakhir sampai sekitar tahun 1949, kemudian barulah gelar Orang Kayo berubah menjadi Pasirah sekitar tahun 1951. Sebelum Kabupaten Dati II Tanjung Jabung terbentuk, berada dalam Kewedanaan Tungkal yang memimpin beberapa Pasirah. Adapun para Pasirah di Tanah Tungkal ini dahulunya adalah :1-1953)
  • Pasirah Daeng Ahmad anak dari H.Dahlan (1953-1959)
  • Pasirah Zikwan Tayeb (1959-1967)
    1969 masa transisi perubahan marga
  • Syafei Manturidi (1969-1973)
  • Adnan Makruf (1974-1982)
   
Marga Tungkal Ilir :Raden Syamsuddin (Pemaraf)
  •  M.Jamin
  • Pasirah H. Berahim
  • Pasirah Ahmad
  • Pasirah Asmuni
  • Pasirah H.M.Taher
   
Seiring bergulirnya perkembangan zaman berdasarkan keputusan Komite Nasional Indonsia (KNI) untuk Pulau Sumatera di Kota Bukit Tinggi (Sumbar) pada tahun 1946 tanggal 15 April 1946, maka pulau Sumatera di bagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Tengah, Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Selatan. Pada waktu itu Daerah Keresidenan Jambi terdiri dari Batanghari dan Sarolangun Bangko, tergabung dalam Provinsi Sumatera Tengah yang dikukuhkan dengan undang - undang darurat Nomor 19 Tahun 1957, kemudian dengan terbitnya undang - undang Nomor 61 Tahun 1958 pada tanggal 6 januari 1958 Keresidenan Jambi menjadi Provinsi Tingkat I Jambi yang terdiri dari : Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun Bangko dan Kabupaten Kerinci.
   
Pada tahun 1965 wilayah Kabupaten Batanghari dipecah menjadi 2 (dua) bagian yaitu : Kabupaten Dati II Batanghari dengan Ibukota Kenaliasam, Kabupaten Dati II Tanjung Jabung dengan Ibukotanya Kuala Tungkal. Kabupaten Dati II Tanjung Jabung diresmikan menjadi daerah kabupaten pada tanggal 10 Agustus 1965 yang dikukuhkan dengan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1965 (Lembaran Negara Nomor 50 Tahun 1965), yang terdiri dari Kecamatan Tungkal Ulu, Kecamatan Tungkal Ilir dan kecamatan Muara Sabak.
   
Setelah memasuki usianya yang ke-34 dan seiring dengan bergulirnya Era Desentralisasi Daerah, dimana daerah di beri wewenang dan keleluasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, maka kabupaten Tanjung Jabung sesuai dengan Undang-undang Nomor 54 Tanggal 4 Oktober 1999tentang pemekaran wilayah kabupaten dalam Provinsi Jambi telah memekarkan diri menjadi dua wilayah yaitu :
  1. Kabupaten Tanjung Jabung Barat Sebagai Kabupaten Induk dengan Ibukota Kuala Tungkal
  2. Kabupaten Tanjung Jabung Timur Sebagai Kabupaten hasil pemekaran dengan Ibukota Pangkalan Bulian.

READ MORE

Sekilas Tentang Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbentuk berdasarkan undang-undang No. 54 Tahun 1999 undang-undang No. 14 Tahun 2000 dengan luas 5.445 Km2 atau 10,2 % dari luas wilayah propinsi Jambi, namun sejalan dengan berlakunya undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk perairan dan 30 pulau kecil (termasuk pulau berhala, 11 diantaranya belum bernama) menjadi 13.102,25 Km2. Disamping itu memiliki panjang pantai sekitar 191 km atau 90,5 % dari panjang pantai propinsi Jambi.

Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang terletak di pantai timur pulau Sumatera ini berbatasan langsung dengan Propinsi Kepulauan Riau dan merupakan daerah hinterland segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Batam-Johor (SIBAJO).

Wilayah perairan laut kabupaten ini merupakan bagian dari alur pelayaran kapal nasional dan internasional (ALKI I) dari utara keselatan atau sebaliknya, sehingga dari sisi geografis daerah ini sangat potensial untuk berkembang.

Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara geografis terletak pada 0°53’ - 1°41’ LS dan 103°23 - 104°31 BT dengan luas 5.445 Km² dengan ketinggian Ibukota-Ibukota Kecamatan dalam Kabupaten Tanjung Jabung Timur berkisar antara 1-5 m dpl. Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai luas wilayah 5.445 Km², dengan batas-batas sebagai berikut :
  • Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
  • Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kab. Muaro Jambi dan Prov. Sumatera Selatan.
  • Sebelah Barat : berbatasan dengan Kab. Tanjung Jabung Barat dan Kab. Ma Jambi.
  • Sebelah Timur : berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Secara administratif Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan Ibukota Muaro Sabak terdiri dari 11 Kecamatan, 73 Desa dan 20 Kelurahan. Adapun nama-nama Kecamatan dalam Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah sebagai berikut :
  1. Kecamatan Muara Sabak Timur dengan Ibu Kota Muara Sabak Ilir
  2. Kecamatan Muara Sabak barat dengan Ibu Kota Nibung Putih
  3. Kecamatan Kuala Jambi dengan Ibu Kota Kampung Laut
  4. Kecamatan Dendang dengan Ibu Kota Rantau Indah
  5. Kecamatan Mendahara dengan Ibu Kota Mendahara Ilir
  6. Kecamatan Mendahara Ulu dengan Ibu Kota Pematang Rahim
  7. Kecamatan Geragai dengan Ibu Kota Pandan Jaya
  8. Kecamatan Rantau Rasau dengan Ibu Kota Bandar Jaya
  9. Kecamatan Berbak dengan Ibu Kota Simpang
  10. Kecamatan Nipah Panjang dengan Ibu Kota Nipah Panjang II
  11. Kecamatan Sadu dengan Ibu Kota Sungai Lokan
Jarak dari Ibu Kota Kabupaten Tanjung Jabung Timur ke beberapa Ibu Kota Kabupaten / Kota dalam Provinsi Jambi :
Muara Sabak – Jambi lewat Sengeti : 124 Km
Muara Sabak – Kuala Tungkal lewat Simpang Tuan : 129 Km
Muara Sabak – Muara Bulian lewat Bajubang Laut : 172 Km
Muara Sabak – Sengeti lewat Simpang Tuan : 94 Km
Muara Sabak – Muaro Bungo lewat Muaro Bulian : 347 Km
Muara Sabak – Muaro Tebo lewat Muaro Bulian : 299 Km
Muara Sabak – Sarolangun lewat Muaro Bulian : 290 Km
Muara Sabak – Bangko lewat Sarolangun : 364 Km
Muara Sabak – Sungai Penuh lewat Bangko : 534 Km
Muara Sabak – Jambi lewat Zone V - Jembatan Batanghari II : 60 Km

Untuk Ibu Kota Kabupaten Tanjung Jabung Timur dapat ditempuh melalui 3 (tiga) Jalur / Ruas Jalan yaitu
  1. Jalur Timur, melalui Ruas Jalan Jambi – Suak Kandis (134 Km)
  2. Jalur Barat, melalui Ruas Jalan Jambi – Sengeti – Simpang Tuan (122 Km)
  3. Jalur Tengah (dalam persiapan), melalui Ruas Jalan Jambi – Jambi Kecil – Rantau Karya / Zone V (37 Km)


IKLIM
Iklim merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh cukup besar terhadap berhasil tidaknya pembangunan pertanian maupun non pertanian. Kondisi iklim secara makro sangat sulit untuk dikendalikan karakteristiknya, karena dipengaruhi oleh letak geografis dan bentuk kawasan. Dalam hal ini kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Berdasarkan Zona Agroklimat B 1 dengan 8 bulan basah (bulan dengan curah hujan > 200 mm) dan 2 bulan kering (bulan dengan curah hujan < 100 mm) berturut-turut. Bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai April, sedangkan bulan kering terjadi mulai bulan Juni sampai Agustus.

Untuk semua wilayah di Kab Tanjung Jabung Timur, sepanjang tahun 2008 mempunyai curah hujan tahunan sekitar 2.000 – 3.000 mm, dimana 8 – 10 bulan basah, 2 – 4 bulan kering. Rata-rata curah hujan bulan basah 179 – 279 mm dan bulan kering 68 – 106 mm. Suhu udara rata-rata 25,90 C – 27,40 C, kelembaban udara 78% - 81% pada bulan Desember–Januari dan 73% pada bulan September.
Seperti halnya daerah-daerah lain di Provinsi Jambi Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki iklim yang cukup baik serta curah hujan yang cukup tinggi. Tetapi bila musim panas tiba, Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk daerah yang rawan kebakaran. Hal ini disebabkan sebagian besar tanaman yang ada adalah tanaman sawit dan tanah gambut.


KETINGGIAN
Ketinggian suatu tempat dari permukaan laut dapat mempengaruhi sifat tumbuhnya suatu tanaman karena adanya perbedaan suhu yang disebabkan oleh ketinggian, dimana tiap naik 100 M maka suhu udara turun 0,6° C. Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai ketinggian kurang lebih 0 – 100 M dari permukaan laut. Topografi daerah pada umumnya dataran rendah terdiri dari rawa/gambut dengan permukaan tanah banyak dialiri pasang surut air laut.


TOPOGRAFI
Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang sebagian secara topografi, seluruh kawasan mempunyai kelerengan antara 0 – 3 % (datar). Kawasan ini dapat dikembangkan sebagai kawasan pertanian dengan syarat input drainase, yang berfungsi juga sebagai saluran irigasi karena adanya pengaruh arus pasang. Berdasarkan hasil studi serta pengukuran yang telah dilakukan sebelumnya, semua elevasi di daerah rawa-rawa sepanjang Sungai Batanghari dinyatakan dalam acuan ketinggian yang sama, yaitu dalam meter di atas Project reference Level (M + PRL). Acuan ketinggian di kawasan perencanaan diambil dari ketinggian BM (Bench Mark) BK 63.


JENIS TANAH
Penyebaran tanah di kawasan Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara makro pada umumnya adalah tanah yang selalu dipengaruhi oleh air, yaitu tanah-tanah yang berumur muda dan tanah organik atau tanah gambut. Beberapa jenis tanah yang terdapat di kawasan perencanaan menurut Pusat Penelitian Tanah (PPT) Bogor (1983), yaitu : Aluvial Tionik, Aluvial Gleik, Aluvial Humik, Organosol Fibrik, Organosol Saprik, Organosol Humik, dan Gleisol Humik.


LAHAN GAMBUT
Gambut terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga terbentuk daerah-daerah cekungan. Pada daerah cekungan dengan genangan air terdapat longgokan bahan organik. Hal ini disebabkan suasana yang langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih lambat dari pada proses tertimbunnya, dengan demikian terbentuklah gambut, Sementara itu potensi gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tersebar di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Mendahara dan Kecamatan Dendang. Dari hasil penyelidikan diketahui bahwa kandungan kalori gambut berkisar antara 4000-5500 kalori/gram dengan tebal maksimum berkisar antara 5-13 meter. Kandungan abu berkisar antara 2,13-4,19 persen, sedangkan kandungan sulfur berkisar antara 0,27-0,63 persen.
READ MORE

Candi Muara Jambi, Universitas Tertua di Indonesia ?

Posted by Dedo Balabo On Jumat, 28 Juni 2013 0 komentar
Berdasarkan genealogi ”universitas” sebagai kumpulan guru dan siswa ilmuwan, sejak universitas pertama di China dan di Nalanda, India, abad ke-5, diikuti universitas modern di Bologna, Italia, abad ke-11, diperkirakan situs purbakala Muaro Jambi di Sumatera, paling tidak pada awal abad ke-7, juga sudah merupakan kompleks pusat pembelajaran yang ternama. Baru disusul beberapa abad kemudian di Indonesia dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada dan universitas lainnya.

Di kompleks yang jaraknya sekitar 40 kilometer dari luar Kota Jambi, di pinggiran Sungai Batanghari, yang terserak dalam 80 manapo (reruntuhan), telah berkembang tradisi sebuah universitas. Berdasarkan catatan dan peninggalan yang ada, diperkirakan Muaro Jambi merupakan pusat pembelajaran sejak abad ke-7 hingga abad ke-11. Dengan demikian, praksis pendidikan di sana bisa dikatakan sebagai universitas tertua di Indonesia.

Situs Muaro Jambi ditemukan pertama kali pada 1820 oleh perwira tentara Inggris, Letnan SC Crooke, diawali laporan MG Coedes pada 1918 dan diikuti oleh Prof Krom, WF Stutterheim, JG de Casparis, dan sederet nama arkeolog besar Belanda lainnya. Sementara nama-nama besar arkeolog Indonesia, seperti Prof Dr Satyawati Sulaiman, Prof Dr Slamet Muljana, Prof Dr R Soekmono, dan Prof Dr RP Soejono, berikut arkeolog-arkeolog muda Indonesia kemudian, memberikan kepastian tentang berkembangnya sebuah tradisi hidup bersama pada masa lalu dengan berbahan batu merah yang dipisahkan satu sama lain oleh kanal-kanal.
Dari bukti tulisan-tulisan dan peninggalan arkeologi yang ada, tampak jelas adanya pengaruh institusi yang serupa, terutama Sanghrama Nalanda, terhadap perkembangan Muaro Jambi sebagai kompleks pusat pembelajaran atau universitas. Kedekatan hubungan antara Sriwijaya dan Nalanda, antara lain, tercatat dalam ”Nalanda Copperplate” (860) yang menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa dari Sriwijaya membangun wihara di Nalanda serta diberi oleh penguasa di sana lima desa. Hasil dari ke-5 desa tersebut digunakan untuk pemeliharaan wihara dan membiayai para siswa di sana.
Dimulai dari kedatangan I-Tsing yang pertama pada abad ke-7, proses pembelajaran di sana diperkirakan berlangsung paling tidak selama 400 tahun lebih dengan pulangnya seorang terpelajar dari India, Dipamkara Srijnana, pada tahun 1025 setelah selama 12 tahun belajar di Muaro Jambi.

Menurut temuan tim SUDIMUJA, Sanghrama (Universitas) Mahawihara Nalanda berkembang dari fokus ”belajar untuk bhakti” menjadi ”belajar untuk pengetahuan”. Raja-raja dinasti Gupta yang membangun Nalanda bukanlah buddhis, melainkan penganut Hindu Brahma sehingga sanghrama dikembangkan bukan dari sudut keagamaan, melainkan demi mendorong dan mendukung sistem pembelajaran, pendidikan, dan kebudayaan bagi kepentingan masyarakat.
Hal yang sama diberlakukan dalam praksis pendidikan di Muaro Jambi. Bahasa Sanskerta menjadi bahasa pengantar, seperti ditunjukkan oleh Prasasti Talang Tuo (684) bahwa pada abad ke-7 M, Sriwijaya mengikuti cara pandang Mahayana, dan menurut I-Tsing, beliau pun belajar tata bahasa Sanskerta di Fo-shih.

Biara-biara yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi biarawan berkembang menjadi pusat-pusat belajar umum yang juga terbuka untuk awam.
Berpagar tembok

Seperti di Nalanda, hampir semua bangunan di Muaro Jambi dikelilingi pagar tembok dengan ketinggian 6 meter, berpetak-petak dengan luas yang berbeda-beda. Tulis I-Tsing, ”Saat itu di Sriwijaya ada ribuan biarawan yang tekun belajar dan beribadah. Mereka tinggal di kawasan yang berpagar tembok.” Hampir semua kelas dan kegiatan dijalankan dalam lingkungan berpagar tembok, di petak-petak halaman terbuka yang dilandasi dengan paving batu bata. Sampai sekarang, reruntuhan fondasi pagar, halaman-halaman, beserta pavingnya masih jelas terlihat.

Berdasarkan catatan Tim SUDIMUJA, ajaran-ajaran dari salah seorang alumnus Muaro Jambi, yang pernah menjadi dasar agama nasional di suatu kerajaan, sampai sekarang pun masih diajarkan dan dipraktikkan di sejumlah negara di dunia.

Ketika situs Muaro Jambi diperjuangkan sebagai salah satu warisan dunia, seperti yang sudah ditetapkan untuk Candi Borobudur dan Candi Prambanan, kedudukan Muaro Jambi sebagai universitas akan menjadi nilai tambah yang sangat berarti. Apalagi, selain I-Tsing, tercatat pula banyak peziarah lain, seperti Wu-Hing, yang pernah belajar beberapa lama di Sriwijaya (Muaro Jambi) sebagai persiapan belajar di Nalanda. Sebaliknya juga banyak biarawan India yang belajar beberapa tahun di Muaro Jambi, kemudian kembali ke India untuk mengajar, seperti Dipamkara Srijnana, Sakyakirti, Vajrabodhi, dan Amogavajra. Sebaliknya, banyak guru dan siswa Muaro Jambi juga belajar di Nalanda.

Dari serangkaian bukunya, antara lain I-Tsing menulis tentang apa yang ia temukan di Fo-shih. ”Saat itu ada ribuan biarawan yang tekun belajar dan beribadah. Mereka tinggal di kawasan yang bertembok… Mereka mempelajari semua mata kuliah seperti yang diajarkan di India… Mereka mempelajari pancavidya: logika, tata bahasa dan kesusastraan, ilmu pengobatan, kesenian, serta metafisika dan filsafat. Tata cara dan upacara pun tidak berbeda… Jika biarawan dari China berkehendak untuk belajar di India, sebaiknya dia tinggal di Sriwijaya selama satu atau dua tahun untuk mempersiapkan dan melatih dirinya tentang cara-cara yang benar.” Tempat yang dimaksud oleh I-Tsing diperkirakan adalah Muaro Jambi.

Situs Muaro Jambi, salah satu situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya, selain sudah dikenal sebagai tempat ibadah, juga diprediksi sebagai pusat belajar. Hipotesis ini niscaya menarik bagi para arkeolog, ahli sejarah, dan para ahli dari disiplin ilmu lain karena selain terus digali kekayaan arkeologisnya, juga kemungkinannya sebagai universitas tertua di Indonesia.

Langkah-langkah yang sudah ditempuh, selain pengembangan sarana wisata, penyelenggaraan Waisak tahun 2007 sebagai peringatan pertama Waisak di luar kompleks Candi Borobudur, perlu dilanjutkan. Semakin banyak data yang memperkuat situs Muaro Jambi sebagai universitas, setelah sebagai situs candi terluas di Indonesia, bukankah menantang dibuktikan kebenaran hipotesis tersebut. Mengapa tidak?
READ MORE

Sejarah Kota Jambi

Posted by Dedo Balabo On Kamis, 27 Juni 2013 0 komentar
Kota Jambi adalah ibukota Provinsi Jambi dan merupakan salah satu dari 10 daerah kabupaten/kota yang ada dalam Provinsi Jambi. Secara historis, Pemerintah Kota Jambi dibentuk dengan Ketetapan Gubernur Sumatera No.103/1946 sebagai Daerah Otonom Kota Besar di Sumatera, kemudian diperkuat dengan Undang-undang No.9/1956 dan dinyatakan sebagai Daerah Otonom Kota Besar dalam lingkungan Provinsi Sumatera Tengah.
 
Dengan dibentuknya Provinsi Jambi tanggal 6 Januari 1948, maka sejak itu pula Kota Jambi resmi menjadi Ibukota Provinsi, dengan demikian Kota Jambi sebagai Daerah Tingkat II pernah menjadi bagian dari tiga Provinsi yakni Provinsi Sumatera, Provinsi Sumatera Tengah dan Provinsi Jambi sekarang.
Memperhatikan jarak waktu antara Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan dibentuknya Pemerintah Kota Jambi, tanggal 17 Mei 1946, terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini  jelas menunjukkan bahwa Pembentukan Pemerintah Otonom Kota Besar Jambi saat itu sangat dipengaruhi oleh jiwa dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.
 
Meskipun menurut catatan sejarah, pendirian Kota Jambi bersamaan dengan berdirinya Provinsi Jambi (6 Januari 1957), namun hari jadinya ditetapkan sebelas tahun lebih dahulu, sesuai Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi No.16 tahun 1985 yang disyahkan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi dengan Surat Keputusan No. 156 tahun 1986, bahwa Hari Jadi Pemerintah Kota Jambi adalah tanggal 17 Mei 1946, dengan alasan bahwa terbentuknya Pemerintah Kota Jambi (sebelumnya disebut Kotamadya sebelum kemudian menjadi Kota saja),  adalah tanggal 17 Mei 1946 dengan Ketetapan Gubernur Sumatera No. 103 tahun 1946, yang diperkuat dengan UU No. 9 tahun 1956. Kota Jambi resmi menjadi Ibukota Provinsi Jambi pada tanggal 6 Januari 1957 berdasarkan UU No. 61 tahun 1958.
Hingga saat ini Kota Jambi telah pernah dipimpin oleh sembilan orang Walikota, yakni :
  1. Makalam (1946 – 1948)
  2. Muhammad Kamil(1948 – 1950)               
  3. R. Soedarsono (1950 – 1966)      
  4. Drs. Hasan Basri Durin(1966 – 1968)        
  5. Drs. H. Z. Muchtar Daeng Maguna (1968 – 1972)               
  6. H. Zainir Haviz, BA. (1972 – 1983)             
  7. Drs. H. Azhari DS. (1983 – 1993)
  8. Drs. H. Muhammad Sabki (1993 – 1998)               
Setelah era reformasi, terjadi perubahan struktur Pemerintah Kota Jambi, yang berdasarkan UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (sebagai pengganti UU no. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah), Walikota sebagai Kepala Daerah, didampingi oleh Wakil Walikota.
    9.   Drs. H. Arifien Manap. MM. & H. Turimin, SE. (1998 – 2008)
  10.   dr. H. R. Bambang Priyanto & M. Sum Indra, SE., M.Si
. (2008 – 2013)
  11.   H. Syarif Fasha, ME & Drs. H. Abdullah Sani (2013-2018)
READ MORE

Sekilas mengenai Suku Melayu Jambi

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Suku Melayu Jambi merupakan penduduk asli yang tersebar di seluruh kabupaten di provinsi Jambi. Populasi suku Melayu Jambi ini diperkirakan sebesar 1.170.000 orang.
Presiden SBY dan Ibu Ani Sewaktu menerima galar adat Melayu Jambi


Penyebaran suku Melayu Jambi terbentang dari kabupaten Tanjung Jabung, Batanghari hingga Bungo Tebo. Dusun-dusun mereka saling berjauhan dengan rumah-rumah yang dibangun di pinggiran sungai besar atau sungai kecil. Pada umumnya suku Melayu Jambi bermukim di dataran rendah dengan hutan yang padat, rawa-rawa, di tepi sungai-sungai yang mengalir dari sungai Batang Hari dan cabang-cabangnya  Kehidupan di tepi sungai sangatlah penting, karena sungai menjadi sarana transportasi dan sebagai sumber kehidupan mereka.
Orang Melayu Jambi mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Mereka memiliki prinsip “adat menurun, syarak mendaki, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, artinya "segala ketentuan yang mengatur kehidupan dalam masyarakat berasal dari budaya nenek moyang dan bersumber dari
ajaran-ajaran agama, yaitu Al quran dan dan Hadits"  Mereka adalah muslim yang taat, terlihat di setiap kelurahan dan setiap RT berdiri bangunan mesjid, madrasah atau tempat pengajian.

Dalam kehidupan orang Melayu Jambi menjalankan prinsip bilateral dengan menempatkan faktor keluarga batih sebagai dasar perhitungan hubungan kekeluargaan. Mereka selalu memiliki hubungan kekerabatan dari pihak ibu maupun bapak. Sistem kekerabatan tersebut disebut dengan istilah “sanak”, yaitu keturunan hingga generasi ketiga. Kelompok ini biasanya saling membantu dalam setiap acara keluarga seperti perkawinan, kematian dan lain-lain. Hak dan kewajiban diatur berdasarkan perbedaan usia, terutama dalam setiap upacara adat. Tapi dalam kenyataannya saat ini, tingkatan sosial terlihat berdasarkan tingkat pendidikan, harta dan jabatan. Seorang kepala desa di kalangan orang Melayu disebut sebagai “datuk”, yang relatif dijadikan panutan oleh masyarakat.
Tradisi adat dan budaya suku Melayu Jambi, selain didominasi oleh budaya Melayu, mirip juga dengan budaya suku Minangkabau. Hal ini, kemungkinan antara suku Melayu Jambi dan suku Minangkabau terjadi hubungan kekerabatan pada masa lalu, atau bersumber dari asal-usul dan nenek moyang sama..
Orang Melayu Jambi pada umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan. Mereka juga bertani pada tanaman padi dengan cara bergotongroyong, yang disebut sebagai “pelarian”. Istilah "pelarian" berasal dari kata “ari” atau “hari”, artinya "setiap anggota kelompok kerja akan memperoleh bantuan tenaga kerja dalam waktu 1 hari dari anggota lainnya secara bergiliran". Selain bertani dan nelayan, gotong royong dalam bertani, mereka juga banyak yang menjadi pedagang, bekerja pada kantor-kantor pemerintahan dan lain-lain.
READ MORE

"Bahasa Melayu Jambi Adalah Induk Bahasa Nusantara"

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
JAMBI,-Ketua Dewan Kesenian Jambi (DKJ) Aswan Ashari mengungkapkan dari beberapa literatur yang ditulis peneliti tentang Jambi termaktub fakta tentang bahasa Melayu Jambi termasuk induk dari bahasa Melayu di nusantara dan bahasa Indonesia.

"Ini adalah khasanah yang patut dibanggakan orang Jambi, karena dari literatur atau buku-buku penelitian para ahli bahasa dan budaya bahkan banyak yang memaparkan dugaan seperti itu, salah satunya Uli Kozok, salah seorang peneliti dari Hawai University," kata Aswan di Jambi, Selasa.

Aswan mengungkapkan hal tersebut saat kegiatan pelatihan penulisan kritik sastra dan penulisan kreatif karya puisi yang diselenggarakan Kantor Bahasa Jambi dengan menghadirkan sastrawan Agus R Sarjono pada 19-20 Desember, sebagai satu rangkaian dari agenda Pertemuan Penyair Nusatara (PPN) VI di Jambi pada 28-31 Desember mendatang.

Ia mengutip hasil penelitian Uli Kozok yang meneliti tentang bahasa dan naskah Melayu tertua di dunia peninggalan zaman Adiyawarman, Raja Pagaruyung di Sumbar yakni Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dari Kerinci pada 2006.

Menurut para ahli dan Uli Kozok, salah satu indikasi untuk mengukur atau memperkirakan tua tidaknya bahasa satu daerah itu adalah dari melihat banyaknya dialek bahasa tersebut, dan bahasa Jambi menurut mereka memiliki lebih dari 500 hingga 1.000 dialek.

Khususnya Uli Kozok yang meneliti bahasa Kerinci tentu saja mengambil sampel tersebut dari bahasa Kerinci yang masyarakat penggunanya diyakini juga sebagai salah satu suku proto-Melayu yang masih ada saat ini, di mana dialek bahasa Kerinci memang paling banyak di antara bahasa daerah lainnya.

Di Kerinci, tambah dia, dialek bahasa yang digunakan masyarakatnya sudah berbeda di setiap desa, bahkan ada yang sudah berbeda dialek pada dua desa bertetangga yang hanya dipisahkan oleh parit kecil.

"Hanya saja, sebagian rakyat Jambi semestinya harus menyikapi dan mengapresiasi kondisi tersebut dengan menumbuh kembangkan sikap apresiatif positif yang diwujudkan dengan tumbuhnya kesadaran untuk bangga dan selanjutnya berkeinginan menggali khasanah tersebut guna dijadikan identitas berbudaya," tegasnya.
READ MORE

Hukum Waris Melayu Jambi

Posted by Dedo Balabo On 0 komentar
Bagi masyarakat pedesaan di daerah Jambi, begitu pun masyarat Melayu Jambi, pada dasarnya mereka menganut prinsip kekerabatan billateral, oleh karena itu setiap individu dalam menarik garis keturunannya selalu menghubungkan dirinya kepada pihak ayah maupun pihak ibu. Denga kata lain hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan kaum kerabat dari pihak ayah tetap sederajat dengan perhubungannya terhadap kaum kerabat ibunya. Oleh karena ini dikenal pepatah Jambi “Anak dipanggu kemenakan dijinjing”.
Prinsip billateral itu sesungguhnya tidak mempunyai suatu akibat yang selektif, karena bagi setiap individu semua kaum kerabat ibu mau pun semua kerabat kaum ayah masuk dalam hubungan kekerabatannya. Sehingga tidak ada batas sama sekali.

Orang Melayu Jambi mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Mereka memiliki prinsip “adat menurun, syarak mendaki, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, artinya "segala ketentuan yang mengatur kehidupan dalam masyarakat berasal dari budaya nenek moyang dan bersumber dari ajaran-ajaran agama, yaitu Al quran dan dan Hadits"

Dalam prinsip kekerabatan billateral Suku Melayu Jambi, garis keturunan ditarik dengan menempatkan faktor keluarga sebagai kelompok masyarakat terkecil dan menjadi basis perhitungan batas hubungan kekerabatan di antara satu sama lain.

Suatu kombinasi yang timbul dari dua prinsip yang berlainan nampak pada penentuan hak waris, terutama penyelesaian masalah hak waris. Keberadaan Islam dengan Fikh-nya yang patrilinear sebenarnya telah menggantikan keberadaan aturan adat tentang hak waris terutama di Palembang, Jambi dan pesisir Kalimantan. Namun kenyataannya tidak jarang di tengah masyarakat billateral masih ditemukan hasil musyawarah adat yang menentukan pembagian harta waris orang tua dibagi sama pada seluruh anak-anaknya.

Hukum adat Jambi berdasarkan pada “Adat Lamo Puseko Usang” yaitu “Undang” dengan “Teliti”. “Undang” yang dimaksud disini adalah peraturan adat istiadat yang berasal dari nenek moyang dan aturan-aturan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan “Teliti” adalah peraturan adat istiadat yang telah dipengaruhi dan diperkuat oleh agama Islam.

“Undang” dan “Teliti” ini disatukan menjadi satu kesatuan sehingga menjadi adat istiadat Jambi yang berasaskan dasar : Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah. Maka kita dapat melihat bahwa hukum yang berlaku pada masyarakat Melayu Jambi adalah hukum adat terutama dalam hal kewarisan. Hal ini tidak terlepas dari ajaran Islam karena masyarakat Melayu Jambi mayoritas beragama Islam.
Hukum adat Suku Melayu Jambi adalah jika anak yang diangkat berasal dari lingkungan keluarga sendiri, maka akan mengakibatkan hubungan hukum anak yang diangkat tersebut dengan orang tua kandungnya tidak terputus. Jika anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang berlainan agama dengan orang tua angkatnya, maka anak tersebut setelah diangkat akan masuk kedalam agama Islam, maka secara langsung hubungan hukumnya dengan orang tua kandungnya terputus.

Sementara dalam hukum Islam pengangkatan anak merupakan tindakan hukum yang menimbulkan akibat hukum tetapi tidak menimbulkan hubungan saling mewaris. Dan dalam peraturan perundang-undangan pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung sehingga tetap berstatus sebagai anak kandung dari orang tua kandungnya.

READ MORE