Komp. Rumah Tuo Tanah Periuk Sebagai Tempat Awal Mula Peradaban Tanah Sepenggal |
Berikut adalah sejarah leluhur marga Tanah Sepenggal
Saat Kesultanan Mataram berperang dengan Belanda, keluarga kerajaan terpecah menjadi dua. Keluarga yang pro Belanda dan menentang belanda. Sri Mangkubumi adalah kelompok yang menentang belanda. Oleh karena situasi yang tidak memungkinkan, maka Sri Mangkubumi mengadakan Musyawarah. Hasil musyawarah tersebut diputuskan mereka harus meninggalkan kerajaan Mataram menuju Sumatra. Bersama dengan pengikutnya yang setia maka Sri Mangkubumi menyiapkan perbekalan secukupnya. Dalam perjalanan tersebut rombongan terdiri dari lebih kurang 40 kepala keluarga. Tujuan perjalanan tersebut adalah Kesultanan Jambi.
Kesultanan Jambi memang sudah lama menjalin kerjasama baik dengan kerajaan di Pulau Jawa. Hal ini diceritakan pula dalam Legenda Rangkayo Hitam. Dikisahkan pula bahwa Rangkayo Hitam sempat mempersunting salah satu putri kerajaan di Tanah Jawa.
Kepala keluarga tersebut masuk kedalam Jung atau Penjalang, jenis kapal layar tradisional yang dipakai oleh kerajaan-kerajaan masa lampau. Rombongan tersebut singgah di Pelabuhan Sabak, dekat Pulau Berhala, Kesultanan Jambi, daerah Tanjung Jabung saat ini.
Setelah beristirahat, rombongan tersebut menemui Sultan Jambi di Pusat kerajaan yang telah berada di Kota Jambi. Konon Sultan Jambi mempunyai Istri dari Kesultanan Mataram. Di Jambi rombongan Mataram bertemu dengan Debalang raja Jambi yang bertugas menyambut kedatangan rombongan tersebut. Sultan/ Raja Jambi tidak percaya begitu saja terhadap rombongan tersebut terutama istri raja jambi yang juga keturunan Mataram. Untuk meyakinkan, maka Sri Mangkubumi mengeluarkan Gupil yang bertuliskan aksara jawa. Sri Mangkubumi hanya memiliki 2/3 bagian gupil karena selebihnya disimpan oleh istri Sultan Jambi yang konon bernama "Ayunan Tunggal". Setelah dicocokkan kedua gupil tersebut maka barulah rombongan tersebut dipercayai sebagai rombongan keluarga Kesultanan Mataram.Adanya bukti hubungan kekeluargaan tersebut menyebabkan rombongan mataram dilayani oleh kesultanan Jambi secara khusus, dengan senang hati.
Tidak beberapa lama rombongan beristirahat di Pusat Kesultanan Jambi, akhirnya rombongan diberi kuasa untuk mengambil wilayah dari Muara Sungai Tembesi hingga ke barat daerah Kesultanan Jambi yang berbatasan dengan Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat. Rombongan tersebut diiringi oleh beberapa orang utusan Kesultanan Jambi sebagai penunjuk jalan. Perjalanan diputuskan lewat air dengan menyusuuri Sungai Batanghari dan diteruskan masuk ke Sungai Batangtebo terus menyusuri hingga ke hulu sungai. Perjalanan melelahkan tersebut memakan waktu yang cukup lama.
Perjalanan panjang tersebut menghantarkan rombongan pada daerah seperti Teluk yang bentuknya berkelok seperti meringkuknya kucing yang sedang tidur. Diseberang teluk tersebut terlihat daratan yang disinari rembulan. Untuk mengingat tempat tersebut rombongan menamai daerah tersebut Pulau Sri Bulan dan Teluk Kucing Tidur
Rombongan tersebut menepi dan naik ke daratan. Disanalah mereka memutuskan untuk menetap dan mendirikan pemukiman. Mereka membuat rumah besar yang dikenal dengan sebutan Balai Panjang yang kemudian ditetapkan menjadi nama daerah tersebut Balai Panjang (Desa Tanah Periuk hari ini). Sri Mangkubumi sendiri memutuskan tidak melanjutkan perjalanan itu dan menetap di Balai Panjang.
Setelah menetap sekian lama di Balai Panjang, diantara anggota rombongan tersebut ada pula yang memutuskan tetap melanjutkan perjalanan ke hulu sungai, mencari wilayah baru untuk ditempati. Perjalanan tersebut diikuti oleh seseorang yang berpengaruh pula yang bernama Sri Tanwah. Sri Tanwah sendiri adalah adik perempuan dari Mangkubumi yang konon terkenal kecantikannya. Kecantikan tersebut hingga hari ini diyakini dimiliki oleh keturunan beliau yang masih bertahan di daerah Candi (Desa Candi dan Sekitarnya).
Rombongan Sri Tanwah tersebut bertemu daratan seperti tanjung yang oleh rombongan dinamai Tanjung. Sebagian anggota Rombongan tersebut memutuskan untuk naik ke daratan termasuk Sri Tanwah. Diatas daratan Tanjung tersebut terdapat bukit yang dinamakan Penggoda atau Pesiban Tanah di sebelah barat bukit tersebut terdapat bukit pula yang dinamakan Bukit Setunggang atau Bukit Sangka Puyuh.
Tidak semua anggota rombongan ikut menetap pula bersama Sri Tanwah. Rombongan lainnya memutuskan meneruskan perjalan ke masuk ke anak sungai Batangtebo bagian kiri yang dikenal dengan nama Sungai Batang Uleh. Dalam perjalanan tersebut rombongan melihat adanya sepah sirih dan asap menandakan adanya aktivitas penduduk di hulu sungai. Perjalanan diputuskan menuju arah asap yang terlihat tadi. Semak belukar tidak menjadi penghalang bagi rombongan. Semua ditebas oleh anggota rombongan. Namun saat perjalanan sudah hampir sampai, ternyata pedang salah satu anggota rombongan patah. Akhirnya diputuskan untuk menepi dan berhenti.
Disaat rombongan sedang beristirahat, terlihat ada sesosok wajah manusia yang terbang melayang ke Arah Teluk Kecimbung (Desa Teluk Kecimbung sekarang). Karena penasaran, semua anggota rombongan mengejar sosok tersebut dan terlihat bahwa yang mereka lihat bukanlah manusia melainkan "Mahluk Halus/ Jin".
Rasa capek dan lelah yang sangat menjadikan rombongan tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Anggo Karti salah satu rombongan Mataram memilih menetap di daerah tersebut. Sedangkan beberapa orang anggota rombongan lebih memilih kembali pulang ke Balai Panjang. Anggo Karti dan rombongan yang memilih menetap tersebut menamakan daerah tersebut Rambah (Desa Rambah sekarang).
Setelah sekian lama, rombongan Sri Mangkubumi menetap di Balai Panjang, maka rombongan tersebut banyak yang membuka daerah-daerah baru yang kemudian menjadi Desa- Desa pada hari ini. Tersebut pula kisah tentang seorang yang bernama Berambai Lidah yang memutuskan untuk membangun pemukiman di daerah kebun kapas Sri Mangkubumi yang terletak di Desa Lubuk Landai hari ini. Orang-orang Tanah Periuk menamakan dia juga "Orang Tuo Tengka". Orang ini diyakini sebagai pendiri desa Lubuk Landai saat ini
Lubuk Landai sendiri berasal dari Kata Lebak Landai. Lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Landai konon mengacu pada Landai (Sarung) Keris yang terjatuh di Lebak tersebut. Namun hal yang berbeda dituturkan oleh tetua lubuk landai yang meyakini bahwa leluhur mereka adalah Pakubuwono, Keponakan Sri Mangkubumi yang menyusul pamannya dalam rombongan kedua dari Mataram.
Dalam perkembangannya, rombongan maupun keturunan dari orang-orang yang berada di Balai Panjang berhasil mendirikan 7 Desa diluar Balai Panjang. Sehingga diawal kemerdekaan ada 8 Desa dan setiap desa tersebut mempunyai pemimpin dengan gelar masig-masing:
1. Desa Balai Panjang/ Tanah Periuk
2. Desa Candi
3. Desa Rantau Embacang
4. Desa Empelu
5. Desa Teluk Pandak
6. Desa Tanjung
7. Desa Lubuk Landai
8. Desa Sungai Mancur
Hingga hari ini jumlah desa terus bertambah akibat pemekaran wilayah. Dimasa lampau orang-orang yang berada di Tujuh Desa menganggap jika ke Balai Panjang artinya "Pulang Kampung" karena mereka tahu bahwa semua leluhur mereka berasal dari Balai Panjang, titik awal Marga Tanah Sepenggal bermula. Keturunan yang berasal dari Balai Panjang tidak hanya sebatas Kecamatan Tanah Sepenggal hari ini saja namun diyakini hingga ke Lubuk Banteng, Kecamatan Bathin III.
Sejak tahun 2006, Tanah Sepenggal dimekarkan sehingga terbentuk kecamatan baru Tanah Sepenggal Lintas. Dua Wilayah kecamatan ini hanya terpisah oleh Sungai Batang Tebo. Bagian Selatan Sungai dinamakan Tanah Sepenggal, sedangkan bagian utara yang dilewati oleh Jalan Lintas Sumatera disebut Tanah Sepenggal Lintas.
Desa yang berada di Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas hari ini :
1. Embacang Gedang
2. Lubuk Landai
3. Paku Aji
4. Pematang Panjang
5. Rantau Embacang
6. Rantau Makmur
7. Sungai Lilin
8. Sungai Mancur
9. Sungai Puri
10.Sungai Tembang
11.Tanah Periuk
12.Tebing Tinggi
13. Rantau Makmur
Desa yang berada di Kecamatan Tanah Sepenggal:
1.Candi
2.Empelu
3.Pasar Lubuk Landai
4.Pasar Rantau Embacang
5.Sungai Gambir
6.Tanah Bekali
7.Tanjung
8.Telentam
9.Teluk Pandak
Gelar Adat Di Tanah Sepenggal Lintas
Sebelum UU No.5 Tahun 1979 desa-desa di Tanah Sepenggal dan Tanah Sepenggal Lintas dipimpin oleh seseorang bergelar Rio. Rio ini dibantu oleh:
1. Patih
2. Ngebi
3. Debalang Batin
4. Juru Tulis
Setelah berlakunya UU tersebut pada masa orde baru, maka Rio diganti oleh Kepala desa dan pembantunya dilebur menjadi perangkat desa seperti kepala Dusun, RT, RW, dll.
Adapun di Tanah Sepenggal, Setiap Rio mempunyai gelar sesuai asal daerahnya. Berikut gelar tersebut.
1. Rio Darno gelar untuk pemimpin Desa Balai Panjang/ Tanah Periuk
2. Rio Sri Tanwah gelar untuk pemimpin Desa Pegoda/ Candi
3. Rio Mudo gelar untuk pemimpin Desa Lubuk Landai
4. Rio Suko Berajo gelar untuk pemimpin Desa Rantau Babancang / Rantau Embacang
5. Rio Indo Jayo gelar untuk pemimpin Desa Empelu
6. Rio Muko-Muko gelar untuk pemimpin Desa Teluk Pandak
7. Rio Sanggam gelar untuk pemimpin Desa Tanjung
8. Rio Anggorkarti gelar untuk pemimpin Desa Sungai Mancur
Hingga hari ini tidak diketahui makam Sri Mangkubumi. Dipercaya bahwa mangkubumi pulang kembali ke Mataram. Di awal-awal kemerdekaan saat masih menganut Sistem Pasirah sebagai pemimpin Kecamatan / Marga Tanah Sepenggal, masih tersisa benda-benda bersejarah berupa Gupil (Stempel), Piagam, Pedang, Sundang, Parang, Tombak, Baju Kerajaan, Ikat Pinggang. Namun hari ini barang-barang tersebut telah hilang, konon yang tersisa hanya ikat pinggan dan baju kerajaan yang hari ini tidak semua orang yang bisa melihat.
JEMBATAN Beatrix yang berlokasi di Kota Sarolangun merupakan sarana
penyeberangan bagi kendaraan roda dua dan empat, sebagai penghubung
antara Desa Sri Pelayang dengan Pasar Bawah Sarolangun.
Jembatan tersebut terbentang di atas aliran sungai Tembesi dengan panjang kurang lebih 100 meter dan bentuknya keseluruhan dibuat dari beton tebal dan kokoh.
Selain itu, terdiri dari tiga tiang penyangga yang diatasnya membentang empat bagian jembatan yang tulangnya juga terbuat dari beton berbentuk melengkung.
Cukup istimewa dan sangat unik keberadaannya dibandingkan jembatan buatan era saat ini. Jembatan yang dibuat pada tahun 1932 oleh orang pribumi dengan cara kerja paksa oleh zaman Belanda, diresmikan dan digunakan pada tahun 1939. Bangsa Belanda pada masa itu memberi nama jembatan tersebut yaitu Beatrix Brug yang berasal dari nama ratu Belanda yang berkuasa pada awal abad ke-19.
Bukti tersebut masih dapat dilihat pada pangkal jembatan di sebelah selatan atau jika ditempuh melalui Desa Sri Pelayang, tepatnya sebelah luar lengkungan pertama terpampang pada batu granit selebar 30 Cm dan panjang 40 Cm bertulisan Beatrix Brug.
Pada tahun 1980-an jembatan itu mengalami keruntuhan pada salah satu tiangnya yang diakibatkan oleh gerusan air Sungai Tembesi. Akan tetapi, jembatan itu beberapa tahun kemudian direnovasi oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun.
Hingga saat ini, jembatan tersebut masih terlihat kokoh, unik, dan sangat indah jika dipandang terlebih di malam hari karena dihiasi lampu dan warna jembatan tersebut sangat kental sekali dengan barang bersejarah.Agar tetap terjaga, Pemkab Sarolangun pun selalu menganggarkan biaya perawatan jembatan tersebut. ‘’Kita sangat menghargai barang-barang peninggalan sejarah, oleh sebab itu jembatan Beatrix selalu kita jaga dan dirawat. Tujuannya selain sebagai sarana penghubung juga dapat dinikmati sebagai objek wisata,’’ ungkap Hasan Basri Agus (HBA) saat jadi Bupati Sarolangun.
Hal senada juga disampaikan oleh Kadis Budparporada Sarolangun Joni Rusman. Pada harian ini dirinya mengaku suatu kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Sarolangun memiliki jembatan peninggalan sejarah yang masih terawat hingga saat ini.
Kini jadi pilihan wisata kota yang cukup berkesan di sore hari. Dari cerita mulut ke mulut para tetua Sarolangun, konon, jembatan yang saat ini dikenal dengan sebutan jembatan Beatrix tersebut, dibangun sekitar tahun 1923 oleh pemerintah kolonial Belanda yang kala itu berkuasa, dengan melalui kerja rodi, menghubungkan langsung dua desa yang bersebarangan Desa Sri Pelayang dengan Kelurahan Pasar Sarolangun, dengan panjang sekitar 100 meter.
Dari Sari, salah satu sfat Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sarolangun, dietahui jika jembatan dengan konstruksi beton yang ditopang tiga tiang penyangga, dengan empat ruas jembatan menyatu, tidak terlalu banyak didukung dengan literatur sejarah, namun masalah penamaan, para sejawaran sarolangun berkesimpulan penamaan “Beatrix” berkemungkinan diambil dari nama salah satu ratu belanda yang lahir tahun 1938.
Bisa jadi penamaan jembatan tersebut, merupakan hadiah atas lahirnya putri Beatrix Wilhelmina Armgard, yang tidak lain anak dari Putri Mahkota Juliana dari Belanda dan Pangeran Bernhard, yang lahir tahun 1938, setahun sebelum jembatan sarolangun diresmikan.
Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti kala peresmian jembatan tahun 1939, dimana ada tugu batu sejenis marmer yang bertuliskan “Beatrix Brug”, pangkal jembatan dari arah pasar bawah Sarolangun.
Adnan Sulaiman, salah satu warga kota sarolangun, bertutur, sejak sekitar tahun 1982 Jembatan sempat mengalami dan tidak terawat, namun bergulirnya pemekaran kabupaten sarolangun jembatan bersejarah ini kembali diperbaiki dan dipercantik dengan cat berwarna kuning gading menjadi objek wisata sejarah dan salah stu tempat tongkorngan warga kota melepas penat melihat arus sungai yang tenang atau sambil memancing di Sungai Tembesi yang mengalir dibawahnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sarolangun, mengakui jika jembatan ini, saat ini sudah terinvetarisir sebagai salah satu objek wisata sejarah di kota sarolangun. “Buka itu saja, kita juga telah beberapa kali menganggarkan dana untuk perbaikan dan perawatan jembatan sehingga tetap terlihat cantik dan enak dilihat,”sebutnya.
Konon, jembatan itu dibangun oleh Pemerintah Belanda melalui cara kerja paksa terhadap warga pribumi. Jembatan ini terbentang di atas Sungai Tembesi dan menjadi sarana yang menghubungkan Desa Sri Pelayang dengan Pasar Bawah Sarolangun. Jembatan ini diberi nama Beatrix Brug yang mengadopsi nama Ratu Belanda yang berkuasa pada sekitar abad ke-19. Hal ini masih dapat anda saksikan pada bagian pangkal jembatan ini terdapat batu granit selebar 30 cm dan panjang 40 cm bertulisan Beatrix Brug.
Jembatan tersebut terbentang di atas aliran sungai Tembesi dengan panjang kurang lebih 100 meter dan bentuknya keseluruhan dibuat dari beton tebal dan kokoh.
Selain itu, terdiri dari tiga tiang penyangga yang diatasnya membentang empat bagian jembatan yang tulangnya juga terbuat dari beton berbentuk melengkung.
Cukup istimewa dan sangat unik keberadaannya dibandingkan jembatan buatan era saat ini. Jembatan yang dibuat pada tahun 1932 oleh orang pribumi dengan cara kerja paksa oleh zaman Belanda, diresmikan dan digunakan pada tahun 1939. Bangsa Belanda pada masa itu memberi nama jembatan tersebut yaitu Beatrix Brug yang berasal dari nama ratu Belanda yang berkuasa pada awal abad ke-19.
Bukti tersebut masih dapat dilihat pada pangkal jembatan di sebelah selatan atau jika ditempuh melalui Desa Sri Pelayang, tepatnya sebelah luar lengkungan pertama terpampang pada batu granit selebar 30 Cm dan panjang 40 Cm bertulisan Beatrix Brug.
Pada tahun 1980-an jembatan itu mengalami keruntuhan pada salah satu tiangnya yang diakibatkan oleh gerusan air Sungai Tembesi. Akan tetapi, jembatan itu beberapa tahun kemudian direnovasi oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun.
Hingga saat ini, jembatan tersebut masih terlihat kokoh, unik, dan sangat indah jika dipandang terlebih di malam hari karena dihiasi lampu dan warna jembatan tersebut sangat kental sekali dengan barang bersejarah.Agar tetap terjaga, Pemkab Sarolangun pun selalu menganggarkan biaya perawatan jembatan tersebut. ‘’Kita sangat menghargai barang-barang peninggalan sejarah, oleh sebab itu jembatan Beatrix selalu kita jaga dan dirawat. Tujuannya selain sebagai sarana penghubung juga dapat dinikmati sebagai objek wisata,’’ ungkap Hasan Basri Agus (HBA) saat jadi Bupati Sarolangun.
Hal senada juga disampaikan oleh Kadis Budparporada Sarolangun Joni Rusman. Pada harian ini dirinya mengaku suatu kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Sarolangun memiliki jembatan peninggalan sejarah yang masih terawat hingga saat ini.
Kini jadi pilihan wisata kota yang cukup berkesan di sore hari. Dari cerita mulut ke mulut para tetua Sarolangun, konon, jembatan yang saat ini dikenal dengan sebutan jembatan Beatrix tersebut, dibangun sekitar tahun 1923 oleh pemerintah kolonial Belanda yang kala itu berkuasa, dengan melalui kerja rodi, menghubungkan langsung dua desa yang bersebarangan Desa Sri Pelayang dengan Kelurahan Pasar Sarolangun, dengan panjang sekitar 100 meter.
Dari Sari, salah satu sfat Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sarolangun, dietahui jika jembatan dengan konstruksi beton yang ditopang tiga tiang penyangga, dengan empat ruas jembatan menyatu, tidak terlalu banyak didukung dengan literatur sejarah, namun masalah penamaan, para sejawaran sarolangun berkesimpulan penamaan “Beatrix” berkemungkinan diambil dari nama salah satu ratu belanda yang lahir tahun 1938.
Bisa jadi penamaan jembatan tersebut, merupakan hadiah atas lahirnya putri Beatrix Wilhelmina Armgard, yang tidak lain anak dari Putri Mahkota Juliana dari Belanda dan Pangeran Bernhard, yang lahir tahun 1938, setahun sebelum jembatan sarolangun diresmikan.
Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti kala peresmian jembatan tahun 1939, dimana ada tugu batu sejenis marmer yang bertuliskan “Beatrix Brug”, pangkal jembatan dari arah pasar bawah Sarolangun.
Adnan Sulaiman, salah satu warga kota sarolangun, bertutur, sejak sekitar tahun 1982 Jembatan sempat mengalami dan tidak terawat, namun bergulirnya pemekaran kabupaten sarolangun jembatan bersejarah ini kembali diperbaiki dan dipercantik dengan cat berwarna kuning gading menjadi objek wisata sejarah dan salah stu tempat tongkorngan warga kota melepas penat melihat arus sungai yang tenang atau sambil memancing di Sungai Tembesi yang mengalir dibawahnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sarolangun, mengakui jika jembatan ini, saat ini sudah terinvetarisir sebagai salah satu objek wisata sejarah di kota sarolangun. “Buka itu saja, kita juga telah beberapa kali menganggarkan dana untuk perbaikan dan perawatan jembatan sehingga tetap terlihat cantik dan enak dilihat,”sebutnya.
Konon, jembatan itu dibangun oleh Pemerintah Belanda melalui cara kerja paksa terhadap warga pribumi. Jembatan ini terbentang di atas Sungai Tembesi dan menjadi sarana yang menghubungkan Desa Sri Pelayang dengan Pasar Bawah Sarolangun. Jembatan ini diberi nama Beatrix Brug yang mengadopsi nama Ratu Belanda yang berkuasa pada sekitar abad ke-19. Hal ini masih dapat anda saksikan pada bagian pangkal jembatan ini terdapat batu granit selebar 30 cm dan panjang 40 cm bertulisan Beatrix Brug.
Saat menjabat sebagai Khalifah, Umar bin Khattab pernah menghadapi
cobaan yang cukup berat. Saat itu, umat Islam dilanda paceklik karena
masuk dalam tahun abu.
Di tahun itu, semua bahan makanan sulit didapat. Hasil pertanian sebagian besar tidak dapat dikonsumsi, sehingga menyebabkan umat Islam menderita kelaparan.
Suatu malam, Khalifah Umar bin Khattab mengajak seorang sahabat bernama Aslam menjalankan kebiasaannya menyisir kota. Dia hendak memastikan tidak ada warganya yang tidur dalam keadaan lapar.
Sampai pada satu tempat, Umar dan Aslam berhenti. Dia mendengar tangisan seorang anak perempuan yang cukup keras. Umar kemudian memutuskan untuk mendekati sumber suara itu, yang berasal dari sebuah tenda kumuh.
Setelah dekat, Umar mendapati seorang wanita tua terduduk di depan perapian sambil mengaduk panci menggunakan sendok kayu. Umar kemudian menyapa ibu tua itu dengan mengucap salam.
Si ibu tua itu menoleh kepada Umar dan membalas salam tersebut. Tetapi, si ibu kemudian melanjutkan kegiatannya.
"Siapakah yang menangis di dalam?" tanya Umar kepada ibu tua.
"Dia anakku," jawab ibu tua itu.
"Mengapa dia menangis? Apakah dia sakit?" tanya Umar lagi.
"Tidak. Dia kelaparan," jawab si ibu.
Umar dan Aslam kemudian tertegun. Setelah beberapa lama, keduanya merasa heran melihat si ibu tua tak juga selesai memasak.
Untuk mengatasi rasa herannya, Umar kemudian bertanya, "Apa yang kau masak itu? Kenapa tidak matang juga?"
Si ibu kemudian menoleh, "Silakan, kau lihat sendiri."
Umar dan Aslam kemudian menengok isi panci itu. Mereka seketika terkaget menjumpai isi panci yang tidak lain berupa air dan batu.
"Apakah kau memasak batu?" tanya Umar dengan sangat kaget. Si ibu menjawab dengan menganggukkan kepala.
"Untuk apa kau masak batu itu?" tanya Umar lagi.
"Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku yang sedang kelaparan. Semua ini adalah dosa Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sejak pagi aku dan anakku belum makan sejak pagi. Makanya kusuruh anakku berpuasa dan berharap ada rezeki ketika berbuka. Tapi, hingga saat ini pun rezeki yang kuharap belum juga datang. Kumasak batu ini untuk membohongi anakku sampai dia tertidur," kata ibu tua itu.
"Sungguh tak pantas jika Umar menjadi pemimpin. Dia telah menelantarkan kami," sambung si ibu.
Mendengar perkataan itu, Aslam berniat menegur si ibu dengan mengingatkan bahwa yang ada di hadapannya adalah sang Khalifah. Namun, Umar kemudian menahan Aslam, dan segera mengajaknya kembali ke Madinah sambil meneteskan air mata.
Sesampai di Madinah, tanpa beristirahat, Umar langsung mengambil sekarung gandum. Dipikulnya karung gandum itu untuk diserahkan kepada sang ibu.
Melihat Umar dalam kondisi letih, Aslam segera meminta agar gandum itu diangkatnya. "Sebaiknya aku saja yang membawa gandum itu, ya Amirul Mukminin," kata dia.
Dengan nada keras, Umar menjawab, "Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?"
Aslam pun tertegun mendengar jawaban itu. Dia tetap mendampingi Khalifah mengantarkan sekarung gandum itu kepada si ibu tua.
Di tahun itu, semua bahan makanan sulit didapat. Hasil pertanian sebagian besar tidak dapat dikonsumsi, sehingga menyebabkan umat Islam menderita kelaparan.
Suatu malam, Khalifah Umar bin Khattab mengajak seorang sahabat bernama Aslam menjalankan kebiasaannya menyisir kota. Dia hendak memastikan tidak ada warganya yang tidur dalam keadaan lapar.
Sampai pada satu tempat, Umar dan Aslam berhenti. Dia mendengar tangisan seorang anak perempuan yang cukup keras. Umar kemudian memutuskan untuk mendekati sumber suara itu, yang berasal dari sebuah tenda kumuh.
Setelah dekat, Umar mendapati seorang wanita tua terduduk di depan perapian sambil mengaduk panci menggunakan sendok kayu. Umar kemudian menyapa ibu tua itu dengan mengucap salam.
Si ibu tua itu menoleh kepada Umar dan membalas salam tersebut. Tetapi, si ibu kemudian melanjutkan kegiatannya.
"Siapakah yang menangis di dalam?" tanya Umar kepada ibu tua.
"Dia anakku," jawab ibu tua itu.
"Mengapa dia menangis? Apakah dia sakit?" tanya Umar lagi.
"Tidak. Dia kelaparan," jawab si ibu.
Umar dan Aslam kemudian tertegun. Setelah beberapa lama, keduanya merasa heran melihat si ibu tua tak juga selesai memasak.
Untuk mengatasi rasa herannya, Umar kemudian bertanya, "Apa yang kau masak itu? Kenapa tidak matang juga?"
Si ibu kemudian menoleh, "Silakan, kau lihat sendiri."
Umar dan Aslam kemudian menengok isi panci itu. Mereka seketika terkaget menjumpai isi panci yang tidak lain berupa air dan batu.
"Apakah kau memasak batu?" tanya Umar dengan sangat kaget. Si ibu menjawab dengan menganggukkan kepala.
"Untuk apa kau masak batu itu?" tanya Umar lagi.
"Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku yang sedang kelaparan. Semua ini adalah dosa Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sejak pagi aku dan anakku belum makan sejak pagi. Makanya kusuruh anakku berpuasa dan berharap ada rezeki ketika berbuka. Tapi, hingga saat ini pun rezeki yang kuharap belum juga datang. Kumasak batu ini untuk membohongi anakku sampai dia tertidur," kata ibu tua itu.
"Sungguh tak pantas jika Umar menjadi pemimpin. Dia telah menelantarkan kami," sambung si ibu.
Mendengar perkataan itu, Aslam berniat menegur si ibu dengan mengingatkan bahwa yang ada di hadapannya adalah sang Khalifah. Namun, Umar kemudian menahan Aslam, dan segera mengajaknya kembali ke Madinah sambil meneteskan air mata.
Sesampai di Madinah, tanpa beristirahat, Umar langsung mengambil sekarung gandum. Dipikulnya karung gandum itu untuk diserahkan kepada sang ibu.
Melihat Umar dalam kondisi letih, Aslam segera meminta agar gandum itu diangkatnya. "Sebaiknya aku saja yang membawa gandum itu, ya Amirul Mukminin," kata dia.
Dengan nada keras, Umar menjawab, "Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?"
Aslam pun tertegun mendengar jawaban itu. Dia tetap mendampingi Khalifah mengantarkan sekarung gandum itu kepada si ibu tua.
Beberapa
hari lalu, warga Dusun Pemuyian, Sungai Jernih, Kecamatan Limbur Lubuk
Mengkuang Kabupaten Bungo heboh, dengan ditemukanya tulang yang diduga
dari hewan pada jaman dahulu yaitu Dinosaurus. penemuan yang
menghebohkan ini, ditemukan oleh Abdullah (40), warga Dusun Pelayang
Kecamatan Bathin II Pelayang.
Dari keterangan Abdullah, saat dia mencari rotan di dalam hutan belantara tepatnya di perbatasan hutan TNKS Kerinci dan Hutan HP Kabupaten Bungo. Abdullah berjalan mendaki bukit masuk hutan mencarai rotan, sampai dalam hutan dikejutkan dengan melihat tulang-belulang besar melebihi dari tulang hewan jenis Gajah. Dari keterangan Abdullah, merasa aneh melihat tulang tersebut, melebihi dari tulang binatang Gajah. Abdullah melaporkanya ke beberapa warga setempat." Ngan imak tulangnyo gedang-gedang nian, awak yakin iko bukan tulang Gajah, Iko tulang binatang lamo jenis Dinosaurus, karno tinggi tulang yang ngan imak, tingginyo lebih dari tigo meter," Ujar Abdullah.
Penemuan tulang yang diduga dari tulang hewan Dinosaurus ini langsung dilaporkan masyarakat ke Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Bungo. Berkelang beberpa hari, Tim dari dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Bungo langsung menuju ke tempat penemuan tulang yang diduga tulang dari hewan Dinosaurus.
Roza Patra staf dari Dinas Pariwisata dan Olahraga Bungo memimpin langsung ke tempat penemuan tulang ini. Roza Patra mengatakan dari analisa terhadap tulang yang diduga dari hewan Dinosaurus ataupun tulang binatang besar yang hidup pada zaman sekarang. Saat ini masih belum bisa menyimpulkan kalau ini adalah tulang Dinosaurus atau tulang Badak atau jenis hewan besar lainya yang hidup pada zaman sekarang. Namun berkemungkinan benar tulang diduga dari fosil Dinosaurus, dilihat dari jenis tulangnya, terlihat lebih besar dari binatang yang ada saat sekarang, selain itu pada rahang tulang binatang ini terlihat lebih kecil dari tulang lainya. kemungkinan besar hewan ini dimasa hidupnya memakan makanan jenis flora.
" Ada kemungkinan, hewan ini besar. Dilihat dari tulangnya, melebihi tulang gajah dan badak, dugaan sementara hewan ini lebih besar dari binatang yang ada saat sekarang ." Ujar Roza Patra.
Roza patra juga mengatakan, dilihat dari jenis tulang tengkorak bagian kepala dan rahang , terlihat lebih kecil, diduga hewan ini pemakan rumput dan tumbuh-tumbuhan(Flora)," Penemuan tulang ini kita teruskan ke tim ahlinya yaitu Arkeologi Provinsi jambi, Mereka lebih memamahami tentang fosil tulang ini," Ujar Roza.
Dari keterangan Abdullah, saat dia mencari rotan di dalam hutan belantara tepatnya di perbatasan hutan TNKS Kerinci dan Hutan HP Kabupaten Bungo. Abdullah berjalan mendaki bukit masuk hutan mencarai rotan, sampai dalam hutan dikejutkan dengan melihat tulang-belulang besar melebihi dari tulang hewan jenis Gajah. Dari keterangan Abdullah, merasa aneh melihat tulang tersebut, melebihi dari tulang binatang Gajah. Abdullah melaporkanya ke beberapa warga setempat." Ngan imak tulangnyo gedang-gedang nian, awak yakin iko bukan tulang Gajah, Iko tulang binatang lamo jenis Dinosaurus, karno tinggi tulang yang ngan imak, tingginyo lebih dari tigo meter," Ujar Abdullah.
Penemuan tulang yang diduga dari tulang hewan Dinosaurus ini langsung dilaporkan masyarakat ke Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Bungo. Berkelang beberpa hari, Tim dari dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Bungo langsung menuju ke tempat penemuan tulang yang diduga tulang dari hewan Dinosaurus.
Roza Patra staf dari Dinas Pariwisata dan Olahraga Bungo memimpin langsung ke tempat penemuan tulang ini. Roza Patra mengatakan dari analisa terhadap tulang yang diduga dari hewan Dinosaurus ataupun tulang binatang besar yang hidup pada zaman sekarang. Saat ini masih belum bisa menyimpulkan kalau ini adalah tulang Dinosaurus atau tulang Badak atau jenis hewan besar lainya yang hidup pada zaman sekarang. Namun berkemungkinan benar tulang diduga dari fosil Dinosaurus, dilihat dari jenis tulangnya, terlihat lebih besar dari binatang yang ada saat sekarang, selain itu pada rahang tulang binatang ini terlihat lebih kecil dari tulang lainya. kemungkinan besar hewan ini dimasa hidupnya memakan makanan jenis flora.
" Ada kemungkinan, hewan ini besar. Dilihat dari tulangnya, melebihi tulang gajah dan badak, dugaan sementara hewan ini lebih besar dari binatang yang ada saat sekarang ." Ujar Roza Patra.
Roza patra juga mengatakan, dilihat dari jenis tulang tengkorak bagian kepala dan rahang , terlihat lebih kecil, diduga hewan ini pemakan rumput dan tumbuh-tumbuhan(Flora)," Penemuan tulang ini kita teruskan ke tim ahlinya yaitu Arkeologi Provinsi jambi, Mereka lebih memamahami tentang fosil tulang ini," Ujar Roza.
Provinsi Jambi adalah salah satu provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Kota Jambi adalah ibukota dari provinsi ini. Kota Jambi terbentuk semenjak hadirnya kerajaan Melayu Jambi pada abad XVIII, di pinggiran sungai Batanghari. Jambi dibentuk oleh
kebudayaan material dan spiritual dari berbagai etnik, strata sosial,
ekonomi dan sistem pemerintahan pada masa lalu, yang dapat dilihat
melalui bentuk-bentuk bangunan dengan suasana/setting/rona lingkungan
pinggiran sungai.
Jambi pernah berada pada masa-masa pencarian identitas rumah adat.
Uniknya pencarian identitas tersebut bukan karena rumah adat di Jambi
telah punah, melainkan karena terlalu banyak pilihan dan harus memilih
satu di antara dua jenis arsitektur rumah tertua di Jambi. Hingga
kemudian pada tahun 70-an, gubernur menyelenggarakan sayembara untuk
memastikan rumah adat identitas negeri “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah” ini.
Dari hasil sayembara tersebut, rumah panggung yang menjadi simbol
hunian tardisional masyarakat Jambi dan kita kenal hari ini adalah Rumah Panggung Kajang Leko.
Sebagai bentuk dukungan langsung, Pemerintah Provinsi Jambi membangun
rumah tersebut di dalam kompleks Kantor Gubernur Jambi. Dikerjakan pada
tahun 1971-1974 serta memusiumkannya. Hingga hari ini kita masih mudah menemukan Rumah Panggung Kajang Leko,
bahkan di luar kantor-kantor pemerintahan. Hal ini menjadi poin positif
tentunya, karena masyarakat Jambi justru bereforia membangun
rumah-rumah berarsitektur adat di tengah perkembangan budaya dan
rongrongan kemajuan zaman.
Rumah Panggung Kajang Leko adalah konsep arsitektur dari Marga Bathin. Sampai sekarang orang Bathin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan peninggalan Kajang Leko atau Rumah Lamo
pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga
kini. Salah satu perkampungan Bathin yang masih utuh hingga sekarang
adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang.
Tipologi Rumah Kajang Leko berbentuk bangsal, empat
persegi panjang dengan ukuran 12 meter x 9 meter. Keunikannya terletak
pada struktur konstruksi dan seni ukiran yang menghiasi bangunan.
Seperti yang telah kita ketahui dan dinyatakan oleh Budihardjo
(1994:57), bahwa rumah adalah aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam
bentuk kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan penghuninya.
Selain itu rumah adalah cerminan diri, yang disebut Pedro Arrupe sebagai ”Status Conferring Function”, kesuksesan seseorang tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya.
Dari segi konstruksi bubungan atap bangunan rumah panggung Kejang Lako dinamai ‘gajah mabuk’
diambil dari nama pembuat rumah yang mabuk cinta tetapi tidak mendapat
restu orang tuanya. Bubungan tersebut dibuat menyerupai perahu dengan
ujung bagian atas bubungan melengkung ke atas yang disebut potong jerambah, atau lipat kajang.
Dengan atap bagian atas dinamakan kasau bentuk dibuat dari mengkuang
atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua, berfungsi untuk mencegah
air hujan agar tidak masuk ke dalam rumah.
Pada bagian langit-langit ada yang dinamai tebar layar yang berfungsi
sebagai dinding penutup ruang atas dan penahan rembesan tempias air
hujan. Sementara ruang antara tebar layar dan bubungan atap difungsikan
sebagai tempat menyimpan barang tak terpakai dinamai panteh. Dan pada
bagian samping, masing-masing dinding, terbuat dari papan yang diukir.
Sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah
pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang.
Rumah Panggung Kajang Lako memiliki 30 tiang yang terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam jajar, dengan panjang masing-masing 4,25 meter. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan juga sebagai tiang penyekat yang membagi ruangan menjadi 8 ruangan, dan keseluruhan ruangan tersebut memiliki ukuran dan kegunaannya masing-masing.
Rumah Panggung Kajang Lako memiliki 30 tiang yang terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam jajar, dengan panjang masing-masing 4,25 meter. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan juga sebagai tiang penyekat yang membagi ruangan menjadi 8 ruangan, dan keseluruhan ruangan tersebut memiliki ukuran dan kegunaannya masing-masing.
Delapan ruangan tersebut antara lain; Ruang pelamban
letaknya berada di sebelah kiri bangunan induk. Ruangan ini menggunakan
bambu belah yang telah diawetkan sebagai lantainya, dipasang agak jarang
untuk mempermudah air mengalir ke bawah. Pelamban difungsikan sebagi
ruang tunggu bagi tamu yang baru datang sebelum diizinkan masuk rumah.
Berikutnya adalah ruang gaho, ruang ini terletak pada ujung sebelah kiri
bangunan dengan posisi memanjang. Karena dalam ruang gaho terdapat
dapur, tempat air dan tempat penyimpanan barang. Ruangan ini dihiasi
motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di bagian bendul gaho.
Di bagian depan terdapat ruang masinding. Masyarakat Jambi biasanya
menggelar musyawarah adat di rungan ini, dan dipergunakan untuk tempat
duduk khusus untuk kaum laki-laki. Karena ruangan ini berfungsi sebagai
sarana interaksi sosial, tak heran jika kita mendapati beberapa ragam
ukiran. Antara lain motif bungo tanjung yang diukirkan di bagian depan
masinding. Kemudian motif tampuk manggis di atas pintu masuknya.
Berikutnya kita akan menemukan motif bungo jeruk yang diukir pada luar
rasuk (belandar) di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora tersbut
dibuat berwarna. Ketiga motif ragam hias tersebut dimaksudkan untuk
memperindah bangunan dan ruangan masinding khususnya, dengan makna
filofosis menggambarkan kesuburan alam Jambi.
Setelah kita dibuat terpukau dengan ukiran-ukiran yang terdapat di
ruang masinding, langsung saja kita memasuki ruang tengah. Ruang tengah
adalah ruang yang berada di tengah-tengah Rumah Panggung Kajang Leko.
Antara ruang tengah dengan ruang masinding ini tidak disekat oleh
dinding. Fungsinya secara khusus, ruang tengah ini ditempati oleh para
wanita pada saat pelaksanaan upacara adat. Ruangan lain dalam rumah
tinggal orang Bathin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam.
Ruangan ini dibagi lagi menjadi beberapa bagian, atara lain; ruang
makan, ruang tidur anak gadis, dan ruang tidur orang tua.
Berikutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini terletak di ujung
sebelah kanan Rumah Panggung Kajang Leko dengan posisi menghadap ke
ruang tengah dan ruang masinding. Lantai pada ruangan ini dibuat lebih
tinggi daripada ruangan lainnya, karena berfungsi sebagai ruang utama,
ruangan ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang. Besarnya ruangan
balik melintang berukuran 2×9 meter, atau sama dengan luas ruang gaho.
Seperti halnya ruang gaho, ruangan balik melintang pun dihiasi ragam
ukiran yang berbentuk ikan yang sudah distilir ke dalam bentuk
daun-daunan yang dilengkapi dengan bentuk sisik ikan.
Sementara di bagian bawah terdapat ruang bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan abrang, atau memasak pada waktu ada pesta, serta kegiatan lainnya. Rumah Panggung Kajang Leko memiliki dua tangga, yaitu: tangga utama yang terdapat di sebelah kanan pelamban dan tangga penteh yang dipakai untuk naik ke penteh.
Sementara di bagian bawah terdapat ruang bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan abrang, atau memasak pada waktu ada pesta, serta kegiatan lainnya. Rumah Panggung Kajang Leko memiliki dua tangga, yaitu: tangga utama yang terdapat di sebelah kanan pelamban dan tangga penteh yang dipakai untuk naik ke penteh.
Rumah Panggung Kajang Leko adalah salah satu bentuk pengejawantahan
cita rasa seni, budaya, dan keyakinan masyarakat Jambi yang tersirat
mulai dari bentuk bangunan, fungsi ruangan, seni ukiran, dll. Padahal
pada awal peradaban manusia, fungsi dasar rumah adalah untuk melindungi
gangguan alam dan binatang. Namun sejalan dengan peradaban, fungsi rumah
berkembang sebagai sumber rasa aman dan kenyamanan. Secara sosial rumah
juga berfungsi sebagai tatus simbol dan ukuran kemakmuran. Kini
keberadaan Rumah Panggung Kajang Leko juga digunakan sebagai sarana
investasi, pariwisata, dan sumber penilitian akademiki.
Universitas Muara Bungo (UMB) adalah perguruan tinggi negeri di Muara Bungo,Kabupaten Bungo, Indonesia, yang berdiri pada 22 Mei 2008, dengan Rektor pertama adalah Dr. Husin Ilyas, SH., MH., dan pada saat ini Universitas Muara Bungo dipimpin oleh Khairun A Roni, SE, MM.
Berdirinya Universitas Muara Bungo tidak terlepas dari diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dalam memberikan kewenangan dan tangung jawab yang besar bagi propinsi dan Kabupaten/Kota. Berangkat dari keinginan luhur itulah, Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Bungo yang pada hakekatnya bertujuan dan dikonsentrasikan untuk mencapai masyarakat sejahtera, adil dan makmur lahir bathin. Seperti termuat dalam Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Daerah Kabupaten Bungo yaitu memampukan dan memandirikan masyarakat Bungo, untuk menanggulangi krisis pada bidang ekonomi, politik, hukum, agama dan sosial budaya. Disamping itu pembangunan juga diarahkan untuk memperluas kesempatan kerja, mendorong peningkatan pendapatan dan pemerataan hasil-hasilnya.
Atas inisiatif Bupati Muara Bungo, H. Zulfikar Achmad berkirim surat ke Menteri Pedidikan Nasional yang isinya adalah untuk mendirikan Universitas Negeri di Muara Bungo atau melakukan penggabungan perguruan tinggi swasta yang sudah ada. Sambutan Menteri Pendidikan Nasional melalui surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Nomor 1551/D2.2/2007 tanggal 29 Juni 2007 perihal Usulan penggabungan, tidak mengijinkan untuk mendirikan Universitas Negeri, mengingat PAD Kabupaten Muara Bungo pada saat itu masih belum memenuhi persyaratan, tetapi pihak Depdiknas mendukung upaya untuk melakukan penggabungan perguruan tinggi swasta yang sudah ada.
Dukungan Dedpiknas itu ditindaklanjuti oleh Bapak H. Zulfikar Achmad dengan mengundang Pengurus Yayasan Pendidikan yang ada sebelumnya di Kabupaten Muara Bungo yang tujuannya adalah untuk menghimpun dan menyatukan visi dan misi masing-masing perguruan tinggi. Hal ini sangat penting, mengingat perguruan tinggi yang sudah ada belum menjawab tantangan kebutuhan sumberdaya manusia yang lulusannya diharapkan dapat membangun Kabupaten Muara Bungo untuk masa yang akan datang.
Dari pertemuan tersebut disepakati untuk menggabung perguruan tinggi yang sudah ada menjadi sebuah universitas. Dari 4 (empat) perguruan tinggi yang di undang, masing-masing Yayasan Nurul Islam yang mengelola Sekolah Tinggi Ilmu Agama (STAI) “YASNI”, Yayasan Insan Madani yang mengelola Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), STIA Setih Setio, dan STIP Muara Bungo, hanya STIA Setih Setio yang tidak bersedia untuk bergabung.
Akhirnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 81/D/O/2008 tanggal 22 Mei 2008 tentang Perubahan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Muara Bungo menjadi Universitas Muara Bungo, diterbitkan dengan Fakultas Ekonomi program studi Akuntansi dan Manajemen S.1; Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik dengan program studi Ilmu Pemerintahan S.1; Fakultas Bahasa dengan program studi Sastra Inggris S.1; Fakultas Teknik dengan program studi Sipil, Elektro dan Pertambangan S.1; Fakultas Pertanian yang merupakan cikal bakal program studi yang sudah ada yaitu Agrobisnis. Agroteknologi, dan Peternakan S.1; Fakultas Perikanan dengan program studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Universitas Muara Bungo memiliki dua buah kampus yaitu di Kecamatan Bathin III dan Rimbo Tengah :
Berdirinya Universitas Muara Bungo tidak terlepas dari diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dalam memberikan kewenangan dan tangung jawab yang besar bagi propinsi dan Kabupaten/Kota. Berangkat dari keinginan luhur itulah, Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Bungo yang pada hakekatnya bertujuan dan dikonsentrasikan untuk mencapai masyarakat sejahtera, adil dan makmur lahir bathin. Seperti termuat dalam Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Daerah Kabupaten Bungo yaitu memampukan dan memandirikan masyarakat Bungo, untuk menanggulangi krisis pada bidang ekonomi, politik, hukum, agama dan sosial budaya. Disamping itu pembangunan juga diarahkan untuk memperluas kesempatan kerja, mendorong peningkatan pendapatan dan pemerataan hasil-hasilnya.
Atas inisiatif Bupati Muara Bungo, H. Zulfikar Achmad berkirim surat ke Menteri Pedidikan Nasional yang isinya adalah untuk mendirikan Universitas Negeri di Muara Bungo atau melakukan penggabungan perguruan tinggi swasta yang sudah ada. Sambutan Menteri Pendidikan Nasional melalui surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Nomor 1551/D2.2/2007 tanggal 29 Juni 2007 perihal Usulan penggabungan, tidak mengijinkan untuk mendirikan Universitas Negeri, mengingat PAD Kabupaten Muara Bungo pada saat itu masih belum memenuhi persyaratan, tetapi pihak Depdiknas mendukung upaya untuk melakukan penggabungan perguruan tinggi swasta yang sudah ada.
Dukungan Dedpiknas itu ditindaklanjuti oleh Bapak H. Zulfikar Achmad dengan mengundang Pengurus Yayasan Pendidikan yang ada sebelumnya di Kabupaten Muara Bungo yang tujuannya adalah untuk menghimpun dan menyatukan visi dan misi masing-masing perguruan tinggi. Hal ini sangat penting, mengingat perguruan tinggi yang sudah ada belum menjawab tantangan kebutuhan sumberdaya manusia yang lulusannya diharapkan dapat membangun Kabupaten Muara Bungo untuk masa yang akan datang.
Dari pertemuan tersebut disepakati untuk menggabung perguruan tinggi yang sudah ada menjadi sebuah universitas. Dari 4 (empat) perguruan tinggi yang di undang, masing-masing Yayasan Nurul Islam yang mengelola Sekolah Tinggi Ilmu Agama (STAI) “YASNI”, Yayasan Insan Madani yang mengelola Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), STIA Setih Setio, dan STIP Muara Bungo, hanya STIA Setih Setio yang tidak bersedia untuk bergabung.
Akhirnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 81/D/O/2008 tanggal 22 Mei 2008 tentang Perubahan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Muara Bungo menjadi Universitas Muara Bungo, diterbitkan dengan Fakultas Ekonomi program studi Akuntansi dan Manajemen S.1; Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik dengan program studi Ilmu Pemerintahan S.1; Fakultas Bahasa dengan program studi Sastra Inggris S.1; Fakultas Teknik dengan program studi Sipil, Elektro dan Pertambangan S.1; Fakultas Pertanian yang merupakan cikal bakal program studi yang sudah ada yaitu Agrobisnis. Agroteknologi, dan Peternakan S.1; Fakultas Perikanan dengan program studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Universitas Muara Bungo memiliki dua buah kampus yaitu di Kecamatan Bathin III dan Rimbo Tengah :
- Jalan Lintas Sumatera Km 6 Sungai Binjai, Muara Bungo 37215
- Jalan Diponegoro Candika, Muara Bungo 37214
- Fakultas Teknik
- Teknik Elektro S-1 81/D/O/2008 2010-05-22
- Teknik Sipil S-1 81/D/O/2008 2010-05-22
- Teknik Pertambangan S-1 81/D/0/2008 2010-05-22
- Fakultas Pertanian
- Agribisnis S-1 81/D/O/2008 2010-05-22
- Agroteknologi S-1 81/D/O/2008 2010-05-22
- Peternakan S-1 81/D/0/2008 2010-05-22
- Fakultas Perikanan
- Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan S-1 81/D/O/2008 2010-05-22
- Fakultas Ekonomi
- Manajemen S-1 81/D/O/2008 2010-05-22
- Akuntansi S-1 81/D/O/2008 2010-05-22
- Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
- Ilmu Pemerintahan S-1 81/D/O/2008 2010-05-22
- Fakultas Bahasa
- Sastra Inggris S-1 81/D/O/2008 2010-05-22
Anak berajo kebapak
Kemenakan berajo kemamak
Gedang anak sekato bapak
Gedang kemenakan sekato mamak
Seloko adat Melayu Jambi tersebut bermakna bahwa tanggungjawab membesarkan serta mendidik anak terletak ditangan orang tuanya (ayah), sedangkan tanggungjawab membesarkan dan mendidik kemenakannya adalah terletak ditangan pamannya sendiri. Dalam ungkapan tersebut juga menjelaskan adanya pembagian tugas dan tanggungjawab antara seorang ayah dan seorang paman dalam adat istiadat daerah Jambi. Pembagian tugas dan tanggungjawab ini dapat menjamin kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak pada masanya yang memang memerlukan bantuan orang dewasa. Terkadang dapat saja seseorang berfungsi ganda, disamping mengasuh, membesarkan, serta mendidik anak-anaknya, juga mengasuh, membesarkan, serta mendidik kemenakannya. Ungkapan trasaisional ini mengisyaratkan bahwa keselamatan kehidupan kelompok kekerabatan perlu diwujudkan sedemikian rupa. Tentu saja, baik si anak maupun sikemenakan harus menurut perintah ayah dan pamannya. Ungkapan ini menjelaskan bahwa ayah dan paman dalam kekerabatan memiliki tanggung jawab yang besar dalam masyarakat Melayu Jambi.
READ MORE
Kemenakan berajo kemamak
Gedang anak sekato bapak
Gedang kemenakan sekato mamak
Seloko adat Melayu Jambi tersebut bermakna bahwa tanggungjawab membesarkan serta mendidik anak terletak ditangan orang tuanya (ayah), sedangkan tanggungjawab membesarkan dan mendidik kemenakannya adalah terletak ditangan pamannya sendiri. Dalam ungkapan tersebut juga menjelaskan adanya pembagian tugas dan tanggungjawab antara seorang ayah dan seorang paman dalam adat istiadat daerah Jambi. Pembagian tugas dan tanggungjawab ini dapat menjamin kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak pada masanya yang memang memerlukan bantuan orang dewasa. Terkadang dapat saja seseorang berfungsi ganda, disamping mengasuh, membesarkan, serta mendidik anak-anaknya, juga mengasuh, membesarkan, serta mendidik kemenakannya. Ungkapan trasaisional ini mengisyaratkan bahwa keselamatan kehidupan kelompok kekerabatan perlu diwujudkan sedemikian rupa. Tentu saja, baik si anak maupun sikemenakan harus menurut perintah ayah dan pamannya. Ungkapan ini menjelaskan bahwa ayah dan paman dalam kekerabatan memiliki tanggung jawab yang besar dalam masyarakat Melayu Jambi.