JEMBATAN Beatrix yang berlokasi di Kota Sarolangun merupakan sarana
penyeberangan bagi kendaraan roda dua dan empat, sebagai penghubung
antara Desa Sri Pelayang dengan Pasar Bawah Sarolangun.
Jembatan tersebut terbentang di atas aliran sungai Tembesi dengan panjang kurang lebih 100 meter dan bentuknya keseluruhan dibuat dari beton tebal dan kokoh.
Selain itu, terdiri dari tiga tiang penyangga yang diatasnya membentang empat bagian jembatan yang tulangnya juga terbuat dari beton berbentuk melengkung.
Cukup istimewa dan sangat unik keberadaannya dibandingkan jembatan buatan era saat ini. Jembatan yang dibuat pada tahun 1932 oleh orang pribumi dengan cara kerja paksa oleh zaman Belanda, diresmikan dan digunakan pada tahun 1939. Bangsa Belanda pada masa itu memberi nama jembatan tersebut yaitu Beatrix Brug yang berasal dari nama ratu Belanda yang berkuasa pada awal abad ke-19.
Bukti tersebut masih dapat dilihat pada pangkal jembatan di sebelah selatan atau jika ditempuh melalui Desa Sri Pelayang, tepatnya sebelah luar lengkungan pertama terpampang pada batu granit selebar 30 Cm dan panjang 40 Cm bertulisan Beatrix Brug.
Pada tahun 1980-an jembatan itu mengalami keruntuhan pada salah satu tiangnya yang diakibatkan oleh gerusan air Sungai Tembesi. Akan tetapi, jembatan itu beberapa tahun kemudian direnovasi oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun.
Hingga saat ini, jembatan tersebut masih terlihat kokoh, unik, dan sangat indah jika dipandang terlebih di malam hari karena dihiasi lampu dan warna jembatan tersebut sangat kental sekali dengan barang bersejarah.Agar tetap terjaga, Pemkab Sarolangun pun selalu menganggarkan biaya perawatan jembatan tersebut. ‘’Kita sangat menghargai barang-barang peninggalan sejarah, oleh sebab itu jembatan Beatrix selalu kita jaga dan dirawat. Tujuannya selain sebagai sarana penghubung juga dapat dinikmati sebagai objek wisata,’’ ungkap Hasan Basri Agus (HBA) saat jadi Bupati Sarolangun.
Hal senada juga disampaikan oleh Kadis Budparporada Sarolangun Joni Rusman. Pada harian ini dirinya mengaku suatu kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Sarolangun memiliki jembatan peninggalan sejarah yang masih terawat hingga saat ini.
Kini jadi pilihan wisata kota yang cukup berkesan di sore hari. Dari cerita mulut ke mulut para tetua Sarolangun, konon, jembatan yang saat ini dikenal dengan sebutan jembatan Beatrix tersebut, dibangun sekitar tahun 1923 oleh pemerintah kolonial Belanda yang kala itu berkuasa, dengan melalui kerja rodi, menghubungkan langsung dua desa yang bersebarangan Desa Sri Pelayang dengan Kelurahan Pasar Sarolangun, dengan panjang sekitar 100 meter.
Dari Sari, salah satu sfat Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sarolangun, dietahui jika jembatan dengan konstruksi beton yang ditopang tiga tiang penyangga, dengan empat ruas jembatan menyatu, tidak terlalu banyak didukung dengan literatur sejarah, namun masalah penamaan, para sejawaran sarolangun berkesimpulan penamaan “Beatrix” berkemungkinan diambil dari nama salah satu ratu belanda yang lahir tahun 1938.
Bisa jadi penamaan jembatan tersebut, merupakan hadiah atas lahirnya putri Beatrix Wilhelmina Armgard, yang tidak lain anak dari Putri Mahkota Juliana dari Belanda dan Pangeran Bernhard, yang lahir tahun 1938, setahun sebelum jembatan sarolangun diresmikan.
Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti kala peresmian jembatan tahun 1939, dimana ada tugu batu sejenis marmer yang bertuliskan “Beatrix Brug”, pangkal jembatan dari arah pasar bawah Sarolangun.
Adnan Sulaiman, salah satu warga kota sarolangun, bertutur, sejak sekitar tahun 1982 Jembatan sempat mengalami dan tidak terawat, namun bergulirnya pemekaran kabupaten sarolangun jembatan bersejarah ini kembali diperbaiki dan dipercantik dengan cat berwarna kuning gading menjadi objek wisata sejarah dan salah stu tempat tongkorngan warga kota melepas penat melihat arus sungai yang tenang atau sambil memancing di Sungai Tembesi yang mengalir dibawahnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sarolangun, mengakui jika jembatan ini, saat ini sudah terinvetarisir sebagai salah satu objek wisata sejarah di kota sarolangun. “Buka itu saja, kita juga telah beberapa kali menganggarkan dana untuk perbaikan dan perawatan jembatan sehingga tetap terlihat cantik dan enak dilihat,”sebutnya.
Konon, jembatan itu dibangun oleh Pemerintah Belanda melalui cara kerja paksa terhadap warga pribumi. Jembatan ini terbentang di atas Sungai Tembesi dan menjadi sarana yang menghubungkan Desa Sri Pelayang dengan Pasar Bawah Sarolangun. Jembatan ini diberi nama Beatrix Brug yang mengadopsi nama Ratu Belanda yang berkuasa pada sekitar abad ke-19. Hal ini masih dapat anda saksikan pada bagian pangkal jembatan ini terdapat batu granit selebar 30 cm dan panjang 40 cm bertulisan Beatrix Brug.
Jembatan tersebut terbentang di atas aliran sungai Tembesi dengan panjang kurang lebih 100 meter dan bentuknya keseluruhan dibuat dari beton tebal dan kokoh.
Selain itu, terdiri dari tiga tiang penyangga yang diatasnya membentang empat bagian jembatan yang tulangnya juga terbuat dari beton berbentuk melengkung.
Cukup istimewa dan sangat unik keberadaannya dibandingkan jembatan buatan era saat ini. Jembatan yang dibuat pada tahun 1932 oleh orang pribumi dengan cara kerja paksa oleh zaman Belanda, diresmikan dan digunakan pada tahun 1939. Bangsa Belanda pada masa itu memberi nama jembatan tersebut yaitu Beatrix Brug yang berasal dari nama ratu Belanda yang berkuasa pada awal abad ke-19.
Bukti tersebut masih dapat dilihat pada pangkal jembatan di sebelah selatan atau jika ditempuh melalui Desa Sri Pelayang, tepatnya sebelah luar lengkungan pertama terpampang pada batu granit selebar 30 Cm dan panjang 40 Cm bertulisan Beatrix Brug.
Pada tahun 1980-an jembatan itu mengalami keruntuhan pada salah satu tiangnya yang diakibatkan oleh gerusan air Sungai Tembesi. Akan tetapi, jembatan itu beberapa tahun kemudian direnovasi oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun.
Hingga saat ini, jembatan tersebut masih terlihat kokoh, unik, dan sangat indah jika dipandang terlebih di malam hari karena dihiasi lampu dan warna jembatan tersebut sangat kental sekali dengan barang bersejarah.Agar tetap terjaga, Pemkab Sarolangun pun selalu menganggarkan biaya perawatan jembatan tersebut. ‘’Kita sangat menghargai barang-barang peninggalan sejarah, oleh sebab itu jembatan Beatrix selalu kita jaga dan dirawat. Tujuannya selain sebagai sarana penghubung juga dapat dinikmati sebagai objek wisata,’’ ungkap Hasan Basri Agus (HBA) saat jadi Bupati Sarolangun.
Hal senada juga disampaikan oleh Kadis Budparporada Sarolangun Joni Rusman. Pada harian ini dirinya mengaku suatu kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Sarolangun memiliki jembatan peninggalan sejarah yang masih terawat hingga saat ini.
Kini jadi pilihan wisata kota yang cukup berkesan di sore hari. Dari cerita mulut ke mulut para tetua Sarolangun, konon, jembatan yang saat ini dikenal dengan sebutan jembatan Beatrix tersebut, dibangun sekitar tahun 1923 oleh pemerintah kolonial Belanda yang kala itu berkuasa, dengan melalui kerja rodi, menghubungkan langsung dua desa yang bersebarangan Desa Sri Pelayang dengan Kelurahan Pasar Sarolangun, dengan panjang sekitar 100 meter.
Dari Sari, salah satu sfat Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sarolangun, dietahui jika jembatan dengan konstruksi beton yang ditopang tiga tiang penyangga, dengan empat ruas jembatan menyatu, tidak terlalu banyak didukung dengan literatur sejarah, namun masalah penamaan, para sejawaran sarolangun berkesimpulan penamaan “Beatrix” berkemungkinan diambil dari nama salah satu ratu belanda yang lahir tahun 1938.
Bisa jadi penamaan jembatan tersebut, merupakan hadiah atas lahirnya putri Beatrix Wilhelmina Armgard, yang tidak lain anak dari Putri Mahkota Juliana dari Belanda dan Pangeran Bernhard, yang lahir tahun 1938, setahun sebelum jembatan sarolangun diresmikan.
Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti kala peresmian jembatan tahun 1939, dimana ada tugu batu sejenis marmer yang bertuliskan “Beatrix Brug”, pangkal jembatan dari arah pasar bawah Sarolangun.
Adnan Sulaiman, salah satu warga kota sarolangun, bertutur, sejak sekitar tahun 1982 Jembatan sempat mengalami dan tidak terawat, namun bergulirnya pemekaran kabupaten sarolangun jembatan bersejarah ini kembali diperbaiki dan dipercantik dengan cat berwarna kuning gading menjadi objek wisata sejarah dan salah stu tempat tongkorngan warga kota melepas penat melihat arus sungai yang tenang atau sambil memancing di Sungai Tembesi yang mengalir dibawahnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sarolangun, mengakui jika jembatan ini, saat ini sudah terinvetarisir sebagai salah satu objek wisata sejarah di kota sarolangun. “Buka itu saja, kita juga telah beberapa kali menganggarkan dana untuk perbaikan dan perawatan jembatan sehingga tetap terlihat cantik dan enak dilihat,”sebutnya.
Konon, jembatan itu dibangun oleh Pemerintah Belanda melalui cara kerja paksa terhadap warga pribumi. Jembatan ini terbentang di atas Sungai Tembesi dan menjadi sarana yang menghubungkan Desa Sri Pelayang dengan Pasar Bawah Sarolangun. Jembatan ini diberi nama Beatrix Brug yang mengadopsi nama Ratu Belanda yang berkuasa pada sekitar abad ke-19. Hal ini masih dapat anda saksikan pada bagian pangkal jembatan ini terdapat batu granit selebar 30 cm dan panjang 40 cm bertulisan Beatrix Brug.
Saat menjabat sebagai Khalifah, Umar bin Khattab pernah menghadapi
cobaan yang cukup berat. Saat itu, umat Islam dilanda paceklik karena
masuk dalam tahun abu.
Di tahun itu, semua bahan makanan sulit didapat. Hasil pertanian sebagian besar tidak dapat dikonsumsi, sehingga menyebabkan umat Islam menderita kelaparan.
Suatu malam, Khalifah Umar bin Khattab mengajak seorang sahabat bernama Aslam menjalankan kebiasaannya menyisir kota. Dia hendak memastikan tidak ada warganya yang tidur dalam keadaan lapar.
Sampai pada satu tempat, Umar dan Aslam berhenti. Dia mendengar tangisan seorang anak perempuan yang cukup keras. Umar kemudian memutuskan untuk mendekati sumber suara itu, yang berasal dari sebuah tenda kumuh.
Setelah dekat, Umar mendapati seorang wanita tua terduduk di depan perapian sambil mengaduk panci menggunakan sendok kayu. Umar kemudian menyapa ibu tua itu dengan mengucap salam.
Si ibu tua itu menoleh kepada Umar dan membalas salam tersebut. Tetapi, si ibu kemudian melanjutkan kegiatannya.
"Siapakah yang menangis di dalam?" tanya Umar kepada ibu tua.
"Dia anakku," jawab ibu tua itu.
"Mengapa dia menangis? Apakah dia sakit?" tanya Umar lagi.
"Tidak. Dia kelaparan," jawab si ibu.
Umar dan Aslam kemudian tertegun. Setelah beberapa lama, keduanya merasa heran melihat si ibu tua tak juga selesai memasak.
Untuk mengatasi rasa herannya, Umar kemudian bertanya, "Apa yang kau masak itu? Kenapa tidak matang juga?"
Si ibu kemudian menoleh, "Silakan, kau lihat sendiri."
Umar dan Aslam kemudian menengok isi panci itu. Mereka seketika terkaget menjumpai isi panci yang tidak lain berupa air dan batu.
"Apakah kau memasak batu?" tanya Umar dengan sangat kaget. Si ibu menjawab dengan menganggukkan kepala.
"Untuk apa kau masak batu itu?" tanya Umar lagi.
"Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku yang sedang kelaparan. Semua ini adalah dosa Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sejak pagi aku dan anakku belum makan sejak pagi. Makanya kusuruh anakku berpuasa dan berharap ada rezeki ketika berbuka. Tapi, hingga saat ini pun rezeki yang kuharap belum juga datang. Kumasak batu ini untuk membohongi anakku sampai dia tertidur," kata ibu tua itu.
"Sungguh tak pantas jika Umar menjadi pemimpin. Dia telah menelantarkan kami," sambung si ibu.
Mendengar perkataan itu, Aslam berniat menegur si ibu dengan mengingatkan bahwa yang ada di hadapannya adalah sang Khalifah. Namun, Umar kemudian menahan Aslam, dan segera mengajaknya kembali ke Madinah sambil meneteskan air mata.
Sesampai di Madinah, tanpa beristirahat, Umar langsung mengambil sekarung gandum. Dipikulnya karung gandum itu untuk diserahkan kepada sang ibu.
Melihat Umar dalam kondisi letih, Aslam segera meminta agar gandum itu diangkatnya. "Sebaiknya aku saja yang membawa gandum itu, ya Amirul Mukminin," kata dia.
Dengan nada keras, Umar menjawab, "Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?"
Aslam pun tertegun mendengar jawaban itu. Dia tetap mendampingi Khalifah mengantarkan sekarung gandum itu kepada si ibu tua.
Di tahun itu, semua bahan makanan sulit didapat. Hasil pertanian sebagian besar tidak dapat dikonsumsi, sehingga menyebabkan umat Islam menderita kelaparan.
Suatu malam, Khalifah Umar bin Khattab mengajak seorang sahabat bernama Aslam menjalankan kebiasaannya menyisir kota. Dia hendak memastikan tidak ada warganya yang tidur dalam keadaan lapar.
Sampai pada satu tempat, Umar dan Aslam berhenti. Dia mendengar tangisan seorang anak perempuan yang cukup keras. Umar kemudian memutuskan untuk mendekati sumber suara itu, yang berasal dari sebuah tenda kumuh.
Setelah dekat, Umar mendapati seorang wanita tua terduduk di depan perapian sambil mengaduk panci menggunakan sendok kayu. Umar kemudian menyapa ibu tua itu dengan mengucap salam.
Si ibu tua itu menoleh kepada Umar dan membalas salam tersebut. Tetapi, si ibu kemudian melanjutkan kegiatannya.
"Siapakah yang menangis di dalam?" tanya Umar kepada ibu tua.
"Dia anakku," jawab ibu tua itu.
"Mengapa dia menangis? Apakah dia sakit?" tanya Umar lagi.
"Tidak. Dia kelaparan," jawab si ibu.
Umar dan Aslam kemudian tertegun. Setelah beberapa lama, keduanya merasa heran melihat si ibu tua tak juga selesai memasak.
Untuk mengatasi rasa herannya, Umar kemudian bertanya, "Apa yang kau masak itu? Kenapa tidak matang juga?"
Si ibu kemudian menoleh, "Silakan, kau lihat sendiri."
Umar dan Aslam kemudian menengok isi panci itu. Mereka seketika terkaget menjumpai isi panci yang tidak lain berupa air dan batu.
"Apakah kau memasak batu?" tanya Umar dengan sangat kaget. Si ibu menjawab dengan menganggukkan kepala.
"Untuk apa kau masak batu itu?" tanya Umar lagi.
"Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku yang sedang kelaparan. Semua ini adalah dosa Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sejak pagi aku dan anakku belum makan sejak pagi. Makanya kusuruh anakku berpuasa dan berharap ada rezeki ketika berbuka. Tapi, hingga saat ini pun rezeki yang kuharap belum juga datang. Kumasak batu ini untuk membohongi anakku sampai dia tertidur," kata ibu tua itu.
"Sungguh tak pantas jika Umar menjadi pemimpin. Dia telah menelantarkan kami," sambung si ibu.
Mendengar perkataan itu, Aslam berniat menegur si ibu dengan mengingatkan bahwa yang ada di hadapannya adalah sang Khalifah. Namun, Umar kemudian menahan Aslam, dan segera mengajaknya kembali ke Madinah sambil meneteskan air mata.
Sesampai di Madinah, tanpa beristirahat, Umar langsung mengambil sekarung gandum. Dipikulnya karung gandum itu untuk diserahkan kepada sang ibu.
Melihat Umar dalam kondisi letih, Aslam segera meminta agar gandum itu diangkatnya. "Sebaiknya aku saja yang membawa gandum itu, ya Amirul Mukminin," kata dia.
Dengan nada keras, Umar menjawab, "Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?"
Aslam pun tertegun mendengar jawaban itu. Dia tetap mendampingi Khalifah mengantarkan sekarung gandum itu kepada si ibu tua.